47. Sesosok Asing

504 58 18
                                    

Gue kembali hadir di tengah keluarga old money ini. Ada beberapa wajah yang masih gue kenal, menatap gue dengan ekspresi heran dan tercengang. Mungkin di pikiran mereka, mana mungkin pria gila yang mereka buang dulu sekarang malah jadi seseorang yang berarti buat mereka?

Mereka nggak berhenti berterimakasih kepada gue karena dengan tahunya mereka kejadian malam itu, sama saja menyingkirkan musuh di dalam selimut keluarga itu sendiri. Surya sekarang telah mendekam di penjara bersama dengan bawahannya yang memang bertugas mencari uang besar dengan cara yang instan.

Gue sebenarnya malas berinteraksi lagi, tapi karena katanya mereka akan membakas budi dengan embel-embel budi nggak bisa dibeli, jadilah gue berada di ruang makan dengan furnitur mewah, elegan dan tentu serba bersih.

"Jay, kamu hebat. Kamu bisa survive hidup kamu. Sayaㅡ"

"Pak, saya sangat menghargai kebaikan kalian, tapi saya harap malam ini kali terakhir saya berada di hadapan kalian." Gue menatap tiga orang penting. Sulli, Wirya, dan seorang pria paruh baya yang sepertinya saudara dari Wirya. Selain itu, rumah ini berisi anak-anak dan para pembantu saja. Benar-benar definisi rumah bahagia yang dingin.

"Lalu istri dan anakmu apa kabar?"

Gue mengangkat alis. "Apa hubungannya?"

Sulli tertawa miring. "Jay, kamu sendiri bilang mereka sekarang dirawat di rumah sakit karena luka dari pecahan kaca yang diakibatkan bom nyasar ke rumah kamu dan kamu tidak merasa bahwa itu sebuah ancaman besar buat kamu sekeluarga?"

"Saya bisaㅡ"

"Kamu tidak bisa keras kepala, Jay. Ini taruhannya nyawa. Kalian sedang dalam bahaya. Jadi, berilah kami kesempatan untuk melindungi kalian."

"Kenapa harus kalian?"

"Kamu pikir siapa lagi?"

Gue mengeraskan rahang. Mereka juga tahu sendiri apa yang telah terjadi pada Mahyra dan Gladys. Mereka melihat dengan mata kepala sendiri bahwa rumah gue hancur sebagian dan sekarang sedang tahap renovasi. Namun, tetap saja, gue nggak bisa menerima kebaikan mereka lagi karena gue pengin balas dendam. Gue masuk ke sini cuma ingin melengserkan kehidupan mereka seperti apa yang gue rasakan selama ini.

Masih terpatri di benak gue karena mereka bokap gue mati secara perlahan.

"Jay," panggil Bening yang duduk di kursi sofa. "Kami nggak pernah sekalipun berniat untuk mencelakakan kamu apalagi istri dan anakmu. Lagipula untuk apa? Anggap aja tawaran ini sebagai bentuk terima kasih terakhir kami sebelum kamu benar-benar kembali menghilang dari hadapan kami. Aku sendiri nggak berharap apa pun ke kamu, karena aku tahu betapa besar cinta kamu ke istri kamu itu."

Kali ini gue mendapatkan kesungguhan dari nada bicara Bening.

"Oke kalau begitu. Saya akan membiarkan bantuan apa pun yang kalian berikan ke saya dan keluarga, tapi kalian harus ingat bahwa setelah ini kita harus kembali asing. Saya tidak ingin masa lalu yang sudah saya kubur kembali menyeruak dan kembali menyakiti saya."

"Apakah kami terlihat seperti monster?"

Gue tertawa miring. "Lebih dari itu."

***

Malam ini adalah malam kelima buat anak dan istri gue berada di rumah sakit. Keduanya mengalami luka yang cukup serius di kepala, jadi harus dijahit dan itu membutuhkan perawatan intensif. Kemungkinan dua hari lagi mereka udah boleh pulang.

Matahari Sebelum Pagi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang