1

749 131 31
                                    


Pip.
Helaan berat napasku tersamarkan  dengan suara barcode scanner. Lagi-lagi hari ini akan menjadi sedikit sibuk untukku, melihat empat sosok berbaris lengkap dengan barang belanjaan mereka yang mengantri menuju 'meja kerja'-ku tercinta. Meja kerja tercinta? Pfft. Tentu saja itu sebuah sarkasme pada meja kasir tua yang beberapa tombol angkanya sudah memudar.

Kulihat seorang pria tinggi di belakang sana berhasil membuat antrian genap menjadi lima orang. Sial!

"Maaf kartumu ditolak. Apa kau memiliki kartu yang lain?" kusodorkan kembali kartu yang ada di tanganku ke arah seorang wanita, tentunya bersamaan dengan itu kutampakkan wajah datar andalanku dari balik meja kasir.

Wanita itu-ah, bukan gadis itu maksudku. Ya, seorang gadis. Terlihat sekali ia berusaha untuk berdandan seperti wanita yang lebih tua dengan riasannya yang agak tebal dan pakaian hangat rajut hijau yang begitu longgar untuknya. Sepertinya ia seorang pelajar SMA, aku tahu dari ikat rambut yang melingkar pada pergelangan tangannya. Ikat rambut warna-warni yang populer di kalangan pelajar, aku begitu familiar dengan modelnya karena beberapa kali melayani pelanggan pelajar SMA yang memakai ikat rambut sejenis.

Sebenarnya, bisa saja aku meminta gadis itu memperlihatkan kartu identitas—yang kuyakin ia belum memilikinya—dan membuat beberapa bir yang dibawanya tak dapat keluar dari pintu toko ini. Namun, kuputuskan untuk membuat pekerjaanku lebih mudah dengan berusaha untuk tak mempedulikan gadis ini. Aku sangat sibuk hari ini.

"Hei, ada masalah?" suara itu berasal dari seorang lelaki yang baru saja memasuki tempat ini, usianya mungkin sekitar pertengahan tiga puluh tahunan. Kemejanya begitu licin, seakan menunjukkan bahwa ia seorang pekerja kantoran selevel manajer.

"Ka... Kartunya tidak bisa digunakan," ucapnya seakan seperti terkejut dengan kedatangan lelaki itu.

Dengan cepat lelaki itu mengeluarkan uang dari dompetnya. "Ambil saja kembaliannya," ia menyambar kantung belanja dan menarik wanita itu dengan cepat lalu pergi dari toko ini.

Ia bahkan tak menanyakan nominal yang harus dibayarkan dan langsung memeberikanku uang dengan nilai yang sangat besar.

Kemudian kulirikkan mataku dari balik dinding kaca pembatas toko ini, ke arah pasangan yang sudah berjalan menjauhi tempat ini. Si pria selalu memegangi pergelangan gadis itu, seperti seorang kekasih yang begitu posesif. Beberapa wanita memang menyukai pria posesif, dan... memiliki banyak uang tentunya. Aku sedikit menyeringai tipis ketika melihat uang tip yang kudapatkan, hari ini tak seburuk yang kubayangkan.

Spontan kupalingkan tatapanku kembali, saat si pria dari kejauhan menoleh kembali ke arah toko ini. Apa ia menyadari aku memperhatikan mereka?

Aku tak begitu memikirkannya kembali, dan melanjutkan pekerjaanku untuk menghitung belanjaan pria kulit hitam yang sibuk dengan teleponnya sedari tadi. Dari pembicaraannya, sepertinya ia sedang berbicara dengan rekan bisnisnya.

Terkadang aku memperhatikan beberapa pelanggan yang datang, lebih tepatnya melakukan sebuah penilaian instan. Seperti wanita yang berada di barisan ketiga, beberapa kali ia menggosok hidung dengan jemarinya. Ia terlihat seperti sedang memakai obat-obatan di mataku.

Aku tahu, menyimpulkan sesuatu dengan cepat bukanlah hal yang baik. Bisa saja wanita itu sedang terkena flu. Namun itu adalah salah satu caraku agar tetap 'waras' ketika menjalani pekerjaan yang membosankan ini.

Ya, membosankan. Hidupku pun, sama-sama membosankan. Setiap hari hanya mengulang kegiatan yang sama. Tak seperti si pria pebisnis di hadapanku ini yang mungkin setiap minggunya akan pergi ke tempat berbeda untuk mendapatkan investor. Atau si gadis SMA yang mungkin memiliki kisah percintaan yang menarik dengan seorang pria yang usianya jauh lebih tua darinya.
Ataupun si wanita teler itu, mungkin semalam ia telah melewati pesta yang tak akan pernah ia lupakan seumur hidup.

"Kau boleh pergi Tyler," ucap
Anjali yang entah sejak kapan ia telah berada di sampingku. "Aku akan mengambil alih dari sini."

"Akhirnya," balasku.

Anjali mengikatkan tali apron biru yang menjadi seragam pegawai toko kecil ini. Sama sepertiku, Anjali adalah gadis India yang bekerja pegawai di tempat ini. Ia hanya bekerja paruh waktu namun, kuakui ia jauh lebih bersemangat dariku. Terlihat dari caranya yang hampir setiap saat memamerkan senyuman pada semua pelanggan yang dijumpainya. Mungkin karena ia termotivasi untuk sesegera mungkin kembali ke negaranya setelah lulus dari kuliahnya saat ini.

Semua orang memiliki kehidupan yang sangat menarik, termasuk Anjali. Tapi tidak denganku. Aku terlalu biasa. Tidak pintar, tidak cantik, bahkan aku sendiri pun tak tahu cara mendeskripsikan diriku sendiri. Mungkin jika diibaratkan sebuah karakter pada novel, aku hanyalah seseorang tanpa nama yang ada di tengah-tengah kerumunan manusia.

Namaku adalah Bryony Tyler, dan aku hanyalah orang biasa.

***
Tbc

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 22, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Marigold is Signing OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang