BAB 20 Seperti Bintang

29 13 37
                                    

Langit ibu kota pada sore itu begitu teduh dan sejuk, Kiyana meminta ijin untuk tidak mengikuti bimbel karena ia merasa tidak nyaman dengan bahunya yang terasa perih. Tina hendak mengantarkan Kiyana ke depan pintu gerbang sekolah mengantarkannya menuju taksi. Tina membantu Kiyana membawakan tas ransel miliknya, ia tidak sampai hati membiarkan Kiyana menggendong tas ranselnya disaat bahunya terluka. Kiyana dan Tina baru saja akan keluar kelas, tapi tanpa diduga Siril dan Galen hendak masuk ke dalam kelas hingga entah disengaja atau tidak, Siril menabrak bahu Kiyana, hingga Kiyana merasakan teramat nyeri di bagian bahunya.

"Lo jalan pake mata dong! Nggak liat ada orang di sini?" erang Kiyana.

"Maaf, gue nggak sengaja," tutur Siril seraya menunduk.

"Lo itu, cacing berkepala dua, gue nggak akan ke tipu lagi sama akal busuk lo!" timpal Tina.

"Ular berkepala dua Tintin, bukan cacing." sanggah Kiyana.

"Ular kebagusan buat dia, dia itu cocoknya disamain kaya cacing tanah, cuma bisa hidup di dalam tanah, mirip kan, sama dia yang nggak bisa jauh-jauh dari keteknya Galen.

Seketika Siril mendongakkan kepalanya menatap Tina dengan tatapan nyalang, ia tidak terima Tina menyebutnya cacing berkepala dua.

"Gue bilang nggak sengaja, lo ngerti nggak sih?" tukas Siril.

Tina semakin tersulut emosi, ia pun tak kalah menatap Siril dengan tatapan benci, bahkan sangat benci.

"Oh, mentang-mentang bisa sembunyi diketeknya Galen, sekarang lo berani ya, sama gue?" 

Siril baru saja akan membuka mulutnya, tapi Galen mencegahnya, ia menarik tangan Siril agar menjauh dari sana. Kiyana pun sama, ia menarik tangan Tina agar segera keluar dari dalam kelas, karena bahunya sudah terasa sangat tidak nyaman,

"Lepasin gue Galen, gue belum selesai sama mereka!" erang Siril.

"Selesai apanya? yang ada malah makin panjang."

"Gue tetep nggak terima!"

"Udahlah sabar, nggak baik punya dendam sama seseorang, dendam hanya akan merusak diri kita, bikin hati nggak tenang, was-was. Apa lo mau hidup nggak tenang?"

Siril menggeleng cepat, itulah yang Siril sukai dari seorang Galen Basil, selalu bijak dalam mengambil sikap. Di depan gerbang SMA Melati sudah ada taksi pesanan Kiyana, baru saja ia akan masuk ke dalam taksi, seseorang menghentikannya dengan menarik tangannya.

"Gue aja yang anterin lo pulang!" tawar Arden.

"Nggak usah Ar, bentar lagi bimbel, lagian gue udah pesan taksi, nggak enak kan, kalau harus dibatalin."

Arden hanya bisa pasrah, ia menuruti kemauan Kiyana. Berita Virgil sering menganggu Kiyana, kini telah sampai di telinga Arden, sambil berjalan menuju kelas, Tina menceritakan semuanya kepada Arden, perihal Virgil yang sepertinya mempunyai dendam kesumat terhadap Kiyana. Arden tidak terima jika belahan hatinya diganggu oleh orang lain.

"Gue akan buat perhitungan dengannya!" gumam Arden.

Sejenak Tina menghentikan langkah kakinya seraya menggelengkan kepalanya pelan. "Apa yang akan dia lakukan? Apa gue salah menceritakan masalah Kiya padanya? Ah bodo amat!" 

Sehabis salat isya, Alivia membantu Kiyana mengoleskan salep kulit pada bahunya, Kiyana sedikit meringis ngilu.

"Pelan-pelan dong mah."

"Ini juga udah pelan Kiya." 

"Mama tau siapa yang udah numpahin kuah baso sama Kiya?"

"Emangnya siapa?" tanya Alivia tanpa mengalihkan atensinya dari bahu Kiyana.

Deskripsi (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang