Chapter 40

17.9K 2K 46
                                    

Kaki beralas sepatu kets putihku berjalan tergesa sejak keluar dari mobil taksi hingga sampai di pelataran sebuah mansion mewah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kaki beralas sepatu kets putihku berjalan tergesa sejak keluar dari mobil taksi hingga sampai di pelataran sebuah mansion mewah. Menghampiri Karin yang terlihat terduduk diundakan tangga terhubung dengan teras mansion ini.

Sampai di hadapan Karin, gadis itu mendongak hingga wajah suram serta mata sembabnya tampak jelas. Detik ini juga Karin bangkit langsung memegang lenganku.

"Leta tolongin Gara." Bergetar suara Karin memasuki runguku, peluh di keningnya dan napasnya yang teracak menandakan betapa panik serta khawatirnya ia saat ini.

"Gara kenapa hah?" tanyaku ikut merasa kepanikan dalam dirinya.

Sejurus kemudian Karin menarik tanganku masuk ke dalam mansion yang tak kuketahui siapa pemilik hunian mewah ini, yang jelas aku mengikuti langkah Karin sampai di dalam lift.

Manakala pintu lift terbuka, lorong hampa terkesan mewah menyambut kedatangan kami dengan kesunyian. Tungkaiku berjalan keluar dari lift tatkala Karin kembali menarik lenganku, kemudian irisku mendapati sebuah pintu berwarna putih perpadu sentuhan gold di beberapa bagian terbuka lumayan lebar. Aku sedikit menyipit, Karin memelankan langkahnya sampai aku pun turut melangkah lambat agar tak menimbulkan suara sehingga runguku dapat maksimal dalam menangkap suara-suara yang berasal dari dalam ruangan itu.

Semakin dekat kami dengan pintu itu, suara yang terdengar kian jelas. Asing, aku tak mengenali suara itu.

Aku menajamkan pendengaran, memposisikan tubuhku di sebelah celah pintu sedangkan Karin di sisi satunya. Manakala manikku mengintip ke dalam ruangan itu, jantungku sontak dibuat berdegup tak karuan. Apa yang kutangkap melalui kedua mataku sendiri menjadi mimpi buruk untuk Gara.

Gara yang selama ini kulihat sebagai sosok menyebalkan, acuh, dan menyeramkan ketika berkelahi, saat ini tengah terduduk tak berdaya di lantai dengan pria paruh baya di hadapannya sambil memegang seutas cambuk.

"Sudah aku bilang, kamu nggak boleh memutuskan hubungan dengan gadis itu." Suara yang ia keluarkan tersirat akan geram. Ia mengamati cambuk yang berada di tangannya beberapa saat, kemudian kembali menatap Gara dengan tatapan keji tanpa belas kasih.

"Pa, aku nggak suka sama Karin, aku udah punya pacar pilihanku sendiri." Gara menjawab dengan lirih dan sedikit bergetar. Dari suaranya, aku merangkum jika ia tengah menahan rasa sakit pada tubuhnya.

CTAS! Cambuk dalam genggaman pria itu mendarat sempurna di punggung Gara. Suara cambuk yang begitu nyaring membuat siapapun yang mendengarnya pasti meringis ngilu.

"Dasar bodoh!" makinya kelewat murka sambil terus melayangkan cambuk ke tubuh Gara, maniknya bagai elang yang tengah menikai sang mangsa ditambah kedua alis menukik tajam. Emosinya meluap pada setiap cambukan yang ia berikan kepada Gara.

"Kamu tau seluruh harta keluarga kita sepenuhnya milik Kakekmu. Kakekmu membuat janji dengan Kakek gadis itu untuk menikahkan kalian agar semua harta bisa menjadi milikmu," sentaknya mengebu-gebu. "Kamu mau memutuskan gadis itu dan kehilangan semua harta? Betapa bodohnya kamu Sagaras! Kalau kamu nggak menikah dengannya maka harta Kakek akan disumbangkan ke orang lain, kita nggak dapat apa-apa. Itu yang kamu mau hah!" sambungnya masih dikuasai amarah meluap-luap.

"Nggak ada gunanya hubungan ini dilanjut, Pa, aku nggak cinta sama Karin." Gara kelewat berani bertutur demikian yang kuyakini itu akan semakin memancing amarah sang Papa.

"ANAK SIALAN! TAU APA KAMU TENTANG CINTA HAH!" teriaknya lantang kembali melayangkan cambuk ke tubuh Gara hingga sang anak tersungkur di lantai. Ia tidak memiliki keraguan dalam dirinya untuk menyiksa darah dagingnya sendiri.

"Persetan dengan cinta! Aku dan Mamamu dijodohkan dan nggak saling mencintai tapi buktinya kamu bisa lahir ke dunia ini. Kamu nggak akan mati tanpa cinta. Justru kamu akan cepat mati tanpa makanan, uang, dan harta benda."

Kata-kata Papa Gara sukses mengiris hatiku. Ternyata memang benar bahwa tidak selalu ada hubungan antara pernikahan dan cinta. Cinta, ya cinta. Menikah, ya menikah. Hanya orang yang beruntung jika bisa saling mencintai lalu menikah.

Cambukan ketiga terdengar memenuhi ruangan. Detik itu mataku refleks terpejam seraya meneguk liur susah payah. Aku tidak tahan melihat pemandangan mengerikan ini, namun di sini lain aku masih ingin mendengar perkataan pria itu lebih jauh.

"Jangan jadi bodoh Gara, gunakan logikamu!" tekannya mendorong sisi kepala Gara menggunakan ujung sepatu hitam mengkilapnya. "Seluruh harta Kakek akan disumbangkan, hidup kita nggak akan semewah ini lagi kalau kamu memutuskan gadis itu."

Energi Gara terlihat habis terkuras, kepalanya menunduk menatap lantai dengan telapak tangan menyentuh lantai-berusaha menopang tubuhnya sendiri agar tidak tersungkur. "Maaf, Pa," lirih Gara seolah mengemis belas kasih sang Papa.

Pria itu tak merasa iba barang sedikit pun. Justru ia menendang tubuh Gara dengan kuat. "Maaf?" Retorik. Maniknya melotot, kedua tangan dilipat di dada. "Aku nggak butuh kata maaf, yang aku butuhkan kamu nggak putus hubungan dengan gadis itu," ungkapnya penuh penekanan.

Gara terbatuk, menekan perutnya menggunakan tangan kiri tatkala baru saja ditendang oleh sang Papa. Pasti sangat sakit, tetapi sedari awal ia dicambuk bahkan ditendang tak sedikit pun aku mendengar Gara mengeluh, seolah dia sudah terbiasa menerima semua pukulan itu.

Aku memalingkan pandangan kepada Karin. Sirat takut tergambar jelas di wajah gadis itu sama halnya denganku manakala menyaksikan penyiksaan Gara barusan. Namun yang dapat kuartikan dari perkataan pria itu adalah Karin ikut mengambil peran dalam permasalahan yang terjadi.

"Sialan." Ia mengumpat sambil memukul meja dengan telapak tangannya. "Gadis lemah merepotkan itu selalu saja mengadu padaku dan berakhir aku memukulmu. Beruntung dia nggak ngadu ke Kakekmu, kalau itu terjadi habislah aku," ujarnya terdengar lebih tenang dari sebelumnya.

Aku tak ingin lagi mendengar pembicaraan mereka lebih jauh, apalagi melihat penyiksaan yang menyakitkan itu. Lantas segera aku meraih pergelangan tangan Karin dan menariknya keluar dari mansion melalui pintu utama sembari membuka ponsel untuk memesan taksi online.

Aku menyeret Karin agar lari lebih cepat menuju gerbang yang jaraknya cukup jauh dari bangunan mansion. Begitu keluar aku mendapati taksi sudah terparkir di pinggir jalan. Tanpa pikir panjang, aku mengibas tangan kanan menyuruh Karin masuk lewat sisi kiri taksi sedangkan aku masuk lewat sisi satunya.

Taksi yang kami tumpangi berhenti di pinggir jalan depan sebuah Cafè yang masih buka. Kami keluar dari taksi dan memilih masuk ke dalam Cafè tersebut untuk mengobrol apa yang aku saksikan di mansion tadi.

Pelayan meletakkan dua cangkir caffè latte panas ke atas meja yang telah aku pesan sebelumnya. Ketakutan belum hilang dalam diri Karin terbukti tangannya gemetar saat meraih pegangan cangkir lantas membawa ke celah bibirnya, menyesap caffè latte dengan sirat panik tertinggal di wajahnya.

Aku meletakkan kembali cangkir caffè latte ke atas coaster putih usai meminumnya sedikit. Dengan bibir terkatup rapat manikku menikai wajah Karin. Gadis itu duduk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, ia seakan tenggelam dalam kesunyian. Entah apa yang sedang dipikirkannya, namun aku tidak memaksanya bicara hanya menunggu ia membuka mulut dengan sendirinya.

"Aku ke rumah Kak Gara liat Kak Gara udah dicambuk sama Papanya. Aku takut buat pisahin mereka, aku juga panik jadi langsung telepon kamu." Pada akhirnya Karin mulai menjelaskan tanpa perlu ku suruh.

A or A [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang