12 - Shit Moment

206 22 7
                                    

Selamat membaca.

.

Kenapa?

Satu kata itu enggak berhasil gue temukan jawabannya. Sebenarnya sudah, tapi yang keluar dari lisannya kurang memuaskan. Gue enggak tahu maksud dia tiba-tiba saja mengatakan hal itu.

Mungkin saja dia masih terbawa perasaan melankolis usai patah hatinya dengan Shandy. Atau mungkin juga dia penganut paham 'obat patah hati adalah jatuh cinta lagi', makanya dia mencoba peruntungan dengan berniat PDKT sama gue. Bukannya gue terlalu percaya diri, tapi itu bisa saja benar, 'kan?

"Enggak ada yang salah, 'kan?" Cuma begitu katanya.

Enggak ada yang salah bagaimana? Dari awal, pertemuan antara kami sudah salah. Posisi masing-masing kami juga salah. Hubungan ini salah.

Impian gue, tujuan gue, target hidup gue di masa dewasa awal ini adalah bisa bahagia sama Raka. Dan kehadiran Rinaldy seperti memblokir jalannya untuk mencapai itu.

Apanya yang mau diseriusin? Gue enggak bisa mengubah haluan dengan menetapkan dia sebagai penggantinya. Enggak bisa. Lebih tepatnya gue enggak mau.

Gue ingin membantah seperti itu. Namun, kalimat itu cuma mentok di ujung lisan. Rasanya seperti terserang lethologica¹ secara tiba-tiba. Mungkin penyebabnya karena terlalu overthinking.
_________________
¹Lethologica: fenomena kesulitan mengungkapkan kata yang terbesit di pikiran.
__________________

Satu sisi gue kesal. Tapi di sisi lain gue juga berpikir, kalaupun dia memang benar seperti yang gue pikirkan-soal Rinaldy yang mungkin saja suka sama gue itu, unek-unek tadi bisa saja menyakiti perasaannya, melukai egonya, atau bisa juga mematahkan hatinya. Bagaimanapun, dia sosok orang yang baik.

So, gue memilih diam.

Jalan-jalan keliling museum, cuci mata dengan panorama estetika bangunan tua, pelajaran sejarah, dan dinner di kafe cantik, yang tadinya menyenangkan rasanya jadi agak berbeda. Sampai kami tiba di apart pun, bagi gue rasanya awkward.

Entah baginya. Gue enggak bisa menduga, karena biasanya dia memang jarang banyak bicara hal yang enggak penting.

Ah, sial. Pukul dua dini hari, dan gue masih enggak bisa tidur karena dilema yang terus menjamur. Atas alasan apa Rinaldy tiba-tiba meminta keseriusan untuk hubungan yang enggak jelas ini? Gue harus melepas salah satunya. Dia atau Raka.

Jika tetap memilih Raka saat masih bersama Rinaldy, artinya harus siap dengan konsekuensi besar dari mata sosial. Bagaimanapun, itu menyalahi norma. Sementara jika melepas Raka ... gue enggak tahu akan bagaimana kacaunya gue karena enggak pernah membayangkannya meski dalam sebuah perandaian.

Ya sudahlah. Daripada berlarut-larut dengan hal yang enggak karuan, lebih baik kalau gue tidur. Siapa tahu gue dapat keajaiban lewat mimpi.

Selamat tidur, Raka.

***

Gang sempit ... gelap, lembap, bau tanah basah, dan gerimis. Situasi ini sangat mirip dengan kejadian yang begitu menyesakkan. Benar-benar sesak. Menoleh ke belakang ketika derap-derap langkah terdengar mengikuti rasanya menakutkan.
Bermeter-meter terlalui dengan melangkah cepat untuk menghindari, tapi gravitasi seolah membelenggu kaki.

Dua orang lelaki lalu menampakkan diri ketika sepasang kaki ini tak tahu lagi ke mana harus lari. Gang sempit ini buntu.

"Mau ke mana, Neng?"

"Gimana kalau jadi pacar Abang?"

Suaranya menjijikkan. Wajahnya juga. Lelaki satunya lagi yang sama menjijikkannya tersenyum miring.

The Freaky WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang