Chapter 41

18K 2K 76
                                    

"Dari ucapan Papa Gara gue udah tau kenapa Gara bisa dipukul kayak gitu, cuma gue mau dengar cerita dari lo yang lebih rinci lagi?" lontarku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dari ucapan Papa Gara gue udah tau kenapa Gara bisa dipukul kayak gitu, cuma gue mau dengar cerita dari lo yang lebih rinci lagi?" lontarku. Sungguh jika Gara bukan orang yang aku kenal, mungkin aku tidak akan merasa iba kepadanya apalagi sampai harus meluangkan waktu untuk mendengarkan penjelasan Karin.

Karin menghela napas panjang, lagaknya seperti sedang mempersiapkan diri untuk memberikan jawaban yang panjang untukku. "Aku sama Kak Gara udah saling kenal sejak kecil karena Kakek kami berteman. Dulu mereka pernah berjanji mau menikahkan cucu mereka yaitu aku dan Kak Gara, saat mereka membuat janji itu Kakekku lagi sakit dan malamnya Kakekku meninggal."

Aku mendengar ia dengan seksama tanpa berniat menyela sedikit pun. Detik berikutnya Karin kembali melanjutkan.

"Aku suka sama Kak Gara, aku confess ke dia tapi ditolak karena dia anggap aku adeknya dan sayang sama aku cuma sebatas teman dari kecil, Kak Gara juga nyuruh aku lupain dan jangan anggap serius janji Kakek kami dulu."

Janji yang rumit. Pada akhirnya janji antara kedua Kakek itu menuai masalah. Salah satu alasan mengapa aku tidak menyukai janji karena merepotkan. Meneguk minumanku, kudengar Karin kembali berbicara.

"Kak Gara mulai jaga jarak sama aku setelah aku confess. Aku bingung gimana caranya buat dekatin Kak Gara, akhirnya aku nekat pacaran sama Kak Sean supaya aku dan Kak Gara kembali dekat. Tapi nggak berhasil sampai Kak Sean tahu niatku pacaran sama dia cuma buat dekatin Kak Gara, akhirnya Kak Sean putusin aku."

"Sampai akhirnya aku nemu cara lain agar kami bisa dekat lagi, aku ngadu ke Kakeknya kalau Kak Gara nolak aku. Kakek marah waktu itu, Kakek juga langsung nelepon Kak Gara nyuruh datang ke mansion-nya."

"Kak Gara datang nggak sendiri, dia datang sama Papanya. Waktu itu Kakek bilang kalau Kak Gara mau nikah sama aku seluruh harta miliknya akan diberikan ke Kak Gara, tapi kalau Kak Gara nggak mau maka  semua harta akan disumbangkan."

Menyimak perkataannya, aku dapat merangkum jika semua perlakukan Gara terhadap Karin selama ini bukan karena Gara mencintai Karin, akan tetapi laki-laki itu berada di bawah tekanan yang mengharuskan ia selalu menomorsatukan Karin. Bahkan ketika aku sudah menjadi pacarnya, ia tetap memprioritas Karin.

Aku merasa penasaran akan sesuatu, lantas kutanyakan langsung kepada Karin. "Boleh gue tanya sesuatu?"

Karin mengangguk. "Mau tanya apa?"

"Mamanya Gara masih ada?" Aku penasaran karena selama Karin menjelaskan tak pernah ia menyinggung perihal Mama Gara—seolah sosok sang Ibu tidak ada.

Tidak langsung menjawab, Karin tampak berpikir sejenak. "Orang tua Kak Gara udah pisah. Kak Gara anak tunggal juga cucu tunggal, sama kayak Papanya yang juga anak tunggal dari Kakeknya."

Pantas saja aku tak melihat keberadaan Ibu Gara di mansion itu. Dan untuk aksi kejam yang dilakukan pria paruh baya itu kepada putranya semata-mata karena ia takut kehilangan harta. Memang terdengar tidak adil jika seluruh harta akan disumbangkan, wajar saja ia mempertahankan harta tersebut, namun tindakan penyiksaannya lah yang salah. "Terus setelah Kakek Gara bilang kayak gitu apa yang terjadi?"

"Nggak terjadi apa-apa, Kakek langsung pergi ninggalin kami bertiga di ruang baca. Terus sebelum Papa Kak Gara juga pergi, dia berpesan sama aku kalau Kak Gara nyakitin aku bilang aja ke dia. Makanya aku selalu ngadu ke Papanya, habis aku ngadu Kak Gara pasti dimarahin berujung ditampar."

"Pernah aku ngadu waktu Kak Gara ninggalin aku di jalan. Pada saat Kak Gara sampai di rumah Kak Gara langsung ditampar, aku taunya Kak Gara cuma ditampar kalau aku ngadu."

"Lo ngadu apa hari ini ke Papanya sampai Gara di siksa kayak tadi?" tanyaku.

"Awalnya aku chat Kak Gara bilang mau ke rumahnya tapi Kak Gara bilang nggak usah karena dia nggak mau ketemu aku lagi. Aku marah terus aku nelepon Papanya, setelah aku ngadu, aku langsung pergi ke rumahnya karena aku tau Kak Gara pasti ditampar, niatku datang biar bisa ngobatin pipi Kak Gara tapi yang aku liat Kak Gara dicambuk."

"Lo egois, Rin!" hardikku. "Selain nyakitin hati Sean lo juga ngekang hidup Gara, lo rebut kebebasan dia! Lo liat sendiri gimana dia disiksa Papanya cuma karena lo ngadu hal sepele kayak gitu? Lo nggak kasihan ngeliat dia disiksa?" 

"Aku nggak tau kalau Kak Gara sampai dicam—"

"Apa sih yang lo tau? Lo taunya cuma nyakitin orang-orang di sekitar lo." Aku menyela cepat.

"Aku ngelakuin semuanya karena aku cinta sama Kak Gara."

Oh God. Karin tidak bisa membedakan antara cinta dan obsesi. Pertama, jelas sekali ia mengekang serta mengontrol kehidupan Gara, aku yakin Gara dihantui oleh perasaan tidak tenang. Kedua, Karin hanya melihat kepentingan pribadi, apa yang dia lakukan hanyalah untuk memuaskan keinginan dan ego nya semata tanpa memahami serta menghargai perasaan Gara.

"I think it's not love, it's obsession!" tekanku.

"Apa obsesi salah? Aku cuma mau milikin Kak Gara," ucap Karin.

Aku menggeram lirih seraya mataku menggulir jengah menatap Karin yang melayangkan tatapan polosnya ke arahku. "Lo berhasil milikin tubuh Gara tapi nggak dengan cintanya, orang waras pasti berpikir dua kali buat jatuh cinta sama orang yang udah ngekang hidupnya. Lo mau sama Gara walaupun Gara nggak cinta sama lo?"

"Setidaknya Kak Gara selalu di sisiku walaupun dia nggak cinta."

Karin sudah tidak waras karena cinta! Tapi aku tidak bisa menyalahkannya sebab kita tahu pada dasarnya cinta itu memang membutakan mata, menulikan telinga, dan melemahkan kinerja otak. Jika tidak, takkan ada kasus pembunuhan di mana-mana hanya karena rasa cemburu yang membutakan mata dan menutup hati nurani manusia. Cinta memang segila itu, namun beruntung aku tidak berada dalam fase gila itu.

"Pada akhirnya lo akan bosan mencintai sendirian. Cinta itu memberi dan menerima, kalau cuma lo yang memberi sedangkan dia nggak menerima itu namanya lo menghancurkan diri lo sendiri," tuturku menasihatinya agar jalan pikiran gadis itu terbuka. "Belum terlambat buat berhenti, Rin."

"Aku harus apa?" lirih Karin. Kepalanya sedikit tertunduk disertai sirat wajah merasa bersalah.

"Temuin Gara."

"Aku takut, Kak Gara pasti marah banget sama aku. Karena aku dia terluka," balasnya dengan suara pelan.

"Bagus kalau lo sadar, saat ini pasti Gara butuh seseorang di sampingnya, apalagi mengingat keadaannya yang terluka. Setidaknya lo tanggung jawab dengan ngobatin luka-lukanya."

Aku berdeham sejenak, lalu bangkit dari kursi. "Gue mau balik ke rumah sakit," kataku lantas berbalik badan akan pergi.

"Leta," panggil Karin.

Langkahku terjeda namun aku tidak menoleh apalagi berbalik menghadapnya. Aku bergeming seraya menajamkan pendengaran, menunggu kalimat apa yang akan ia lontarkan.

"Makasih, dan maaf."

A or A [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang