Blind and Paralyzed

508 52 14
                                    

Zhang Linghe x Zhai Xiaowen

©claertesquieu

penafian: saya hanya meminjam nama, tidak ada korelasinya dengan kehidupan asli figur yang bersangkutan.

peringatan: fiksi ini mengandung kosa kata kasar dan penuh adegan dewasa, tidak diperuntukkan untuk pembaca di bawah umur.

Suram.

Cahaya tidak menyambangi retina Linghe dengan penuhㅡpandangannya terhalang dan dia hanya bisa bungkam. Dia tahu, jika ada satu saja cakap yang tanpa sengaja terlepas, dia tidak akan bisa mendapatkan apa yang menjadi hasrat.

Gelap.

Satin hitam membelenggu matanya rapat. Membuatnya buta, membuatnya ingin menggerakkan tangan meraba. Walakin, mata bukan satu-satunya bagian diri yang tengah dibuat laif, lengannya juga dibuat serupaㅡdibatasi geraknya oleh satin yang sama. Dia sengaja dibuat tidak berdaya, hanya diam laiknya golek tak bernyawa.

Oh, sudahkah Linghe mengatakan jika busananya terdedah? Koyak di kanan kiri dan jelas menyuratkan kuyup peluh yang menghias kulitnya yang memerah? Ia seterbuka bayi yang baru keluar dari rahimㅡtelanjang.

Jika ada yang bertanya mengapa dia terjebak dalam kondisi yang membuat hati prihatin, dia akan menjawab; Xiaowen adalah sang kausa.

Ia yang mengizinkan Xiaowen untuk membuatnya tidak berdaya, membiarkan dirinya tidak memiliki kuasa atas dirinya. Ia membiarkan tubuhnya dikuasai oleh Xiaowen, disentuh semaunya, dikuasai sebisanya dan dirangsang sekeras berahinya.

Kekasihnya, selalu tahu caranya memanja. Selalu tahu bagaimana menghidangkan santap baru tanpa membuatnya bosan. Selalu tahu bagaimana menjaga langgeng hubungan dan membuatnya enggan mencerling dengan orang selain dirinya.

Kekasihnya, adalah yang terbaik.

Olehnya, persetan dengan gelapnya pandang dan persetan dengan kakunya tangan. Linghe tahu, Xiaowen akan selalu memberi kejutan.

"Gege," Xiaowen berujar lembut, sengaja benar suaranya di buat rendah yang disisipi oleh desah. "Gege," sekali lagi dia memanggil, kali ini sengaja desah napasnya diletakkan di sebelah telinga Linghe, sesekali mengecupnya jahil.

Napas Linghe memberat, bibirnya sedikit terbuka—hendak berkata tetapi tak satupun nada tersampaikan dan terdengar di telinga.

Aturan pertama, Linghe tidak boleh bicara.

"Gege memang yang terbaik, begitu menurut." Lagi-lagi, Xiaowen berbicara dengan begitu halus, namun kali ini bukan telinga yang ia sambangi, melainkan bibir Linghe yang setengah terbuka. "Karena gege sudah menurut, aku akan memberikan hadiah." Ujarnya, yang langsung menyambangi bibir Linghe, mencumbunya hingga basahnya menetes ke jakun yang naik turun tidak beraturan.

Ini menyiksa.

Tetapi Linghe begitu menikmatinya. Ia menikmati ketidakberdayaannya untuk tidak bisa menyentuh Xiaowen yang memosisikan diri mencogok kedua kaki di kanan kiri—membungkus pinggangnya yang menempel erat dengan dingin kursi kayu yang menyambangi punggung.

Xiaowen mengeraskan desahannya dengan sengaja. Pinggulnya yang tidak berjarak dari selangkangan Linghe yang telanjang sengaja ia ajak berbuat dosa—penuh goda. Milik Linghe keras, itu sudah pasti. Tetapi apakah Xiaowen akan berbelas kasihan dan membantunya untuk kembali lemas? Itu hal yang sama sekali berbeda dengan mencumbu mulut yang sudah menurut aturan yang ia minta.

"Gege," Xiaowen memanggil dan sesuai yang diperkirakan, Linghe hanya menggeram kecil. "Gege," Sekali lagi Xiaowen memanggil, kali ini dengan satu tangan yang memelintir puting Linghe yang tidak kalah kerasnya dengan pelirnya yang di bawah. "Karena gege begitu menurut, aku berpikir...bukankah sudah sekian lama aku tidak mencumbu gege di bawah sana? Apa gege merindukannya?" Setiap untaian kalimat layaknya air tanpa riak yang dalam, dingin, namun juga panas penuh goda yang membangkitkan hasrat.

Blind & Paralyzed || HeWenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang