"Halo, Kak Akandra!!"
Sapaan yang ditujukan kepada Kak Akandra itu terdengar tidak asing di telingaku. Benar saja, saat aku menolehkan kepala, ada sosok Lia dan beberapa anak kelas yang tersenyum cerah, namun, senyuman itu berubah menjadi cemberut saat mata mereka bertatapan denganku. Sepertinya, mereka tidak mengira jika sosok yang bersama Kak Akandra adalah diriku seorang.
"Oh. Halo. Tolong tunggu sebentar ya, ada yang mau aku bahas dulu dengan Meena," ujar Kak Akandra sambil menunjukku.
"Iya, Kak nggak apa. Kak, kita boleh duduk disini nggak ya?" Lia menunjuk dua bangku yang dipenuhi oleh tas dan buku-buku milikku dan Kak Akandra.
"Ehm ... gimana kalau kalian cari kursi lain? Soalnya buku-buku ini dah kita bagi pisahin sesuai kebutuhan, jadi kalau diangkat takut kecampur," tolak Kak Akandra dengan halus.
"Oh, iya, Kak. Kalau gitu kami tunggu di kursi tengah sana ya," ujar Dina sambil tersenyum kecil, ia juga mengapit lengan Lia untuk segera beranjak dari hadapan kami. Menyadari bahwa permintaan mereka ditolak oleh Kak Akandra. Lia sendiri tampak keberatan saat diseret oleh Dina menuju tempat duduk mereka, bahkan ia sempat menatapku tajam yang kubalas dengan tatapan malas.
"Naa, maaf ya, aku nggak kasih tahu kamu kalau ada yang mau nanya tugas," ucap Kak Akandra pelan sembari menatapku lekat, wajahnya menyiratkan rasa bersalah.
"Nggak masalah, Kak. Toh, sebagai asisten dosen, Kakak pasti sering ditanya-tanya tugas sama temen-temenku dan mungkin sama yang lain juga," kataku sambil menatap wajah Kak Akandra sekilas, lalu mengalihkan pandangannku ke meja kami yang penuh dengan kertas, minuman dan laptop.
Aku membeku, merasakan jemari lain mengisi jemariku yang hendak mengambil minuman. Tiba-tiba saja, suhu ruangan kafe ini menjadi lebih panas dari sebelumnya. Peluh terasa mengalir di dahiku dan badanku terasa kaku. Kak Akandra mengenggam tanganku erat, sesekali ibu jarinya mengelus pelan permukaan tanganku.
"Naa ..." panggilnya lembut.
"Meena ... coba lihat aku!" Tangannya masih setia menggenggam jemariku dan terus mengusapnya perlahan.
Aku sendiri masih berusaha mengendalikan diri dengan mulai menghembuskan nafas perlahan, lalu menarik nafas banyak-banyak untuk mengisi paru-paruku yang sempat kosong sejenak dan menghembuskannya kembali. Perlahan, kesadaran kembali menguasaiku, mataku berusaha mencari objek lain yang bisa ku tatap, menghindari sosok di depanku.
"Maaf yaa, maaf udah buat kamu nggak nyaman dengan situasi ini," katanya pelan, meski tidak melihatnya, aku merasa ia menatapku dengan tatapan lekat dan rasa bersalah.
"Sebenernya, tadi yang bilang ke aku cuma Aldo, dia bilang mau datang sendiri, tapi ternyata ada anak kelas kamu yang lain juga. Maaf ya, aku nggak mastiin ke Aldo dulu. Lain kali, aku pastiin dan bilang dulu ke kamu kalau ada yang mau ngajak ketemu buat bahas tugas yaa," jelasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
520
ChickLitBisa berbincang dengannya adalah hal yang sangat aku syukuri. Jika bukan karena dia, mungkin aku akan tetap bersembunyi, karena aku terlalu takut untuk menghadapi kenyataan di depan sana. Selama ini, aku selalu bertanya-tanya pada diriku sendiri. Wh...