•BAGIAN KEDUA PULUH TIGA•

4.2K 221 43
                                    


▪▪▪▪▪

"Ck, sial!"

Dua remaja laki-laki yang sedang fokus dengan handphone di genggaman mereka pun seketika terlonjak kaget. Mata mereka memincing mengamati penampilan temannya yang terlihat berantakan.

"Kenapa lo Ga? Stres nggak ada uang?"

Orang yang ditanyai hanya berdehem sambil merebahkan diri di sofa. Salah satu tangannya ia gunakan untuk menutupi matanya.

"Dih, ditanya malah kayak gitu, ya serah deh."

"Gue mau nikah."

"Hah?!" Ucapan Raga membuat dua orang, Bagas dan Vano benar-benar terkejut. Segera mereka menghampiri tempat dimana Raga berbaring.

"Hah? Serius mau nikah? Sama siapa? Perasaan lo belum jadian sama--"

"--Mentari."

Sontak bola mata Bagas dan Vano membulat. Bingung dengan kabar mengejutkan yang sangat tiba-tiba. Oh, astaga, bahkan mereka saja belum lama lulus SMA, tapi temannya yang satu ini sudah ingin menikah?

"Kok bisa? Bukannya lo lagi ngincer siapa tuh namanya Gas? Ck, lupa gue," tanya Vano pada Bagas yang masih diam menatap Raga.

"Tika."

"Ah, iya Tika. Kok jadi tiba-tiba sama Mentari?"

Raga beranjak dari rebahannya menjadi posisi duduk. Kantung matanya juga sangat terlihat. Pokoknya dari segi penampilan Raga, sudah dapat Bagas dan Vano tebak jika temannya itu sedang dalam fase stres berat.

"Gue belum cerita ya sama kalian kalau Mentari hamil."

"Apa? Hamil? Terus apa hubungannya sama lo Ga? Ah, astaga gue paham. Atau jangan-jangan lo yang itu?"

Raga menganggukkan kepalanya menjawab pertanyaan yang dimaksud oleh Vano.

"Astaga Raga, sumpah deh lo baru dateng aja udah bikin gue hampir kena serangan jantung. Kok kalian bisa gitu gimana caranya?"

"Mau gue tunjukkin tutorialnya?" tanya Raga sambil memutar bola mata. Jengah dengan pertanyaan yang dilontarkan temannya tersebut.

"Udah-udah. Terus kapan lo nikahin dia?" Bagas yang sedari tadi menyimak akhirnya membuka suaranya.

"Nggak tahu, ribet urusannya sampai kepala gue mau pecah ini. Dah lah tunggu aja."

Vano yang mendengar nada keputusasaan dari temannya sontak saja tertawa yang membuat kerutan pada dahi Raga terlihat.

"Salahnya sih masih bocah udah bikin bocah. Ribet kan jadinya."

"Serah!" Ucap Raga lalu melemparkan bantal ke arah wajah Vano

▪▪▪▪▪

Sejak kejadian itu, dimana Mentari yang berani berbicara terbalik dengan perintah Raga, sejak saat itu pula pria tersebut tidak pernah menyapanya lagi walaupun pada saat pengurusan untuk pernikahan mereka. Ya, mau tidak mau hasil dari ucapannya waktu itu berbuah pernikahan. Ibunya yang mendengarkan kabar baik tersebut senang bukan main. Namun ibu-ibu di sekitar rumahnya justru mencurigai pernikahan yang bisa dibilang mendadak ini. Bahkan perlahan-lahan kabar tidak sedap akhirnya bermunculan dimana-mana membuat dirinya sedikit setres dibuatnya. Kalau boleh jujur, perasaannya tidaklah tenang. Mentari yakin menikah dengan Raga bukanlah hal yang mudah nanti, tapi setidaknya menikah dengan Raga mampu mengurangi beban pikiran ibunya. Anaknya juga mampu mendapat pengakuan jika dirinya menikah dengan Raga. Tak peduli jika semua orang mencibirnya karena hamil di luar nikah. Ia yang berdosa tapi jangan salahkan anaknya.

"Anak ibu udah gede ya, udah mau nikah aja nih," ucap ibu Mentari sendu namun senyuman masih terukir di bibirnya.

Mentari mendongak menatap kehadiran ibunya. Hari masih pagi, Abdul sudah pergi ke sekolah, sedangkan ibunya sepertinya baru selesai menyuapi bapaknya.

"Eh, ibu?"

"Raga ada ngasih kabar tentang apa gitu sama kamu nggak?"

"Nggak Bu, mungkin lagi sibuk dianya," ucapnya sambil menggenggam tangan ibunya yang kasar.

"Makasih ya Bu, udah rawat Mentari dari kecil. Dari Mentari belum bisa apa-apa, dari Mentari yang ngerengek minta dibeliin boneka barbie padahal waktu itu Bapak sama Ibu nggak punya uang. Bahkan sampai Mentari udah segede ini. Ibu yang rela bohong bilang udah kenyang padahal ibu sendiri belum makan. Bahkan jasa ibu nggak bisa Mentari jabarin pakai kata-kata."

Lagi, air mata Mentari tidak bisa dirinya tahan. Sekuat apa pun sedari tadi ia tahan, nyatanya pertahanannya runtuh juga. Dulu ia sempat menanyakan kenapa anak yang menikah selalu menangis ketika sungkeman di acara pernikahan mereka padahal jika ingin bertemu bisa langsung bertemu. Tapi ternyata ia baru merasakan hal tersebut.

"Kamu kenapa bilang begitu, udah sepantasnya apa yang ibu lakukan itu juga dilakukan sama semua ibu di dunia. Udah jangan nangis lagi."

"Assalamualaikum."

Salam seseorang membuat atensi ibu dan anak teralihkan. Mentari dan ibunya langsung pergi mengecek tamu siapa yang datang. Pikiran Mentari seperti mengenal suaranya tapi batinnya berkata tidak mungkin jika suara dia.

"Nak Raga? Ayo masuk sini. Maaf rumahnya kotor ya." Setelahnya ibu Mentari mempersilahkan Raga masuk. Sedangkan Mentari sendiri masih dibuat bingung dengan kedatangan Raga ke rumahnya. Di tangannya juga membawa sebungkus plastik berisi makanan dan ah-matanya menyipit melihat ke arah kantong plastik berukuran besar yang Mentari rasa adalah perlengkapan untuk sekolah.

"Ini Bu, Raga bawain bubur buat sarapan, maaf datengnya mungkin kesiangan buat dibilang untuk sarapan," ucap Raga sambil melirik pada jam yang tertempel pada dinding.

"Ah, nggak perlu repot-repot Ga, makasih ya Nak."

Raga menganggukkan kepalanya namun tidak menampilkan senyuman yang membuat sedikit nyeri di hati. Entah kenapa ia menebak perbuatan Raga kali ini bukanlah murni dari hati pria itu, melainkan perintah orang tuanya.

"Raga juga bawain alat tulis buat sekolah Abdul. Moga aja bisa membantu sedikit-sedikit Bu."

Ibu Mentari mengelus dada melihat pemberian calon menantunya. Ya begitulah kami kaum orang tidak punya. Merasa tersentuh ketika orang lain memperhatikan keadaan kami walaupun itu bukan hal yang  wow.

"Astaghfirullah, makasih ya Raga. Ini orang tuamu tau nggak kalau kamu beliin ini?"

"Tau kok Bu, ini sebenernya Mama yang beli tapi Raga yang ngater," ucapnya membuat Mentari yang sedari tadi diam memperhatikan meringis. Benar kan tebakannya, tidak mungkin jika Raga mempunyai ide seperti ini. Dengan dirinya saja cuek, apalagi dengan keluarganya.

"Oalah, ya bilangin sama mama kamu makasih gitu ya. Sebentar ibu buatin teh dulu."

Mentari dan Raga sama-sama terdiam setelah ibu Mentari beranjak membuatkan teh. Raga yang asik dengan dunia maya dan Mentari yang menatap kecewa ke arah barang bawaan pria di hadapannya sekarang.

"Kenapa kamu harus repot-repot bawa beginian?" Raga mengalihkan pandangan dari handphone ke arah Mentari.

"Emang kenapa? Seharusnya lo bersyukur gue bisa ngebantu biaya pengeluaran keluarga lo." Mentari memejamkan matanya sekilas. Dalam hati merapalkan kata-kata sabar.

"Tapi--"

"-Tapi apa lagi sih? Apa susahnya lo tinggal nerima barang kayak gini? Lo keberatan? Atau masih kurang? Lo seharusnya memahami keadaan ekonomi keluarga lo Tar, nggak usah gengsi cuma dikasih kayak gini aja. Gue pulang, pamitin sama ibu lo. Bilang gue ada urusan mendadak. Jangan lupa bentar lagi kita nikah dan itu semua gara-gara lo yang nggak bisa diajak kerja sama," ucap lirih Raga dan beranjak pergi dari rumah Mentari.










▪▪▪▪

Vote, Comment, Share! Jangan lupa follow. Jujur lho aku seneng kalau kalian pada Comment. Pasti aku baca, tapi lebih seneng lagi kalau komen kalian itu bukan sekedar next :)

DEAR RAGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang