Bab 18

15.4K 1.5K 28
                                    

Selamat membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak ya..

"Seperti kamu tahu, Bude Rima tinggal sendiri di Semarang. Jadi kesehariannya aku sering menemani tidur dirumahnya. Akulah yang sering mengantarnya kemana-mana. Termasuk mengantar beliau ikut arisan dan pengajian. Ketika mengantar atau menjemput bude pengajian itulah aku melihatmu." Mas Krisna menghentikan penjelasannya dan menatapku intens sambil sambil menahan senyum.

"Ingat tidak setiap Minggu pagi kamu selalu mengantar Budemu ke Masjid Al Ikhlas dekat perumahan. Setelah itu kamu akan joging mengelilingi lapangan di depan masjid tersebut sampai kurang lebih sepuluh putaran."

Aku membelalakkan mata kaget. Bagaimana dia bisa tahu itu sedangkan aku sama sekali tidak memperhatikannya? 

"Kamu mengikutiku gerak gerikku, Mas?"

"Aku bahkan tahu setelah itu kamu akan makan soto Pak Juned di sebelah masjid. Kalau kamu memperhatikan pasti kamu akan tahu kalau aku juga sering berada di sana mengikutimu."

"Kamu mengerikan, Mas!"

Pikiranku sudah kemana-mana. Tiba-tiba aku merasa selama ini dikuntit oleh orang tidak dikenal yang mengidap kelainan jiwa seperti psikopat. Kemudian akan diculik dan disekap sampai beberapa tahun setelahnya baru ditemukan.

"Hahaha, kamu kebanyakan baca novel sadis tuh," katanya seraya tertawa ngakak dan menyandarkan punggungnya kembali di sandaran kursi.

"Kamu tahu kenapa aku begitu?" Aku menggeleng.

Dia diam sesaat. Terinterupsi oleh pelayan yang datang menghidangkan makanan yang kami pesan.

Setelah pelayan pergi dia kembali mendekatkan tubuhnya ke meja. Kedua tangan diletakkan diatasnya. Tetapi perhatian kami sama sekali tidak ke makanan yang sudah terhidang. Kami saling menatap.

"Secara fisik kamu itu tipeku." Aku langsung membelalak tetapi juga tersipu. Yang benar saja. Aku tidak ada apa-apanya dibandingkan Sita.

"Cantik itu relatif, Karina." Sepertinya dia tahu yang aku pikirkan.

"Entahlah. Pertama kali melihatmu aku merasa ini anak kok lain daripada yang lain ya. Kamu kelihatan energik dengan badan kecilmu itu. Kamu tidak pendek tetapi juga tidak tinggi. Untuk ukuran cewek kamu termasuk lumayan tinggi. Tetapi mungkin karena badanmu ramping, wajahmu kecil dan tirus. Kacamatamu yang bening pas membingkai wajahmu yang kecil membuatmu terlihat sangat energik, cerdas dan berkarakter. Iya betul. Wajahmu sangat berkarakter. Sangat kuat. Terlihat percaya diri. Tidak peduli sekitarmu. Namun tidak terlihat sombong. Hanya terkesan untouchtable. Aku suka cewek2 seperti itu."

Mau tidak mau wajahkupun tersipu-sipu. Sudah pasti pipiku memerah seperti tomat.

"Gombal!" Akhirnya aku melempar tisu yang ada di genggamanku. "Udah ah! Aku lapar. Mendengar gombalanmu aku jadi lapar, Mas!"

Aku berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Takut jadi diabetes saking manis tutur katanya.

"Karin! Ceritaku belum selesai. Mau aku lanjutkan tidak?" tanyanya sambil menahan tanganku yang hendak memgambil jamur krispi pesananku.

"Ceritanya nanti dilanjutkan lagi setelah Mas Krisna makan. Sop Iga kalau dingin enggak enak," dalihku untuk menghentikan ceritanya. Padahal aku butuh time break untuk menetralkan jantungku agar tidak loncat-loncat seenaknya sendiri.

"Kamu pengecut, Karin," sungutnya tidak terima ceritanya aku jeda. "Tapi okelah nanti kita lanjutkan lagi. Siapkan hatimu mendengar cerita selanjutnu."

Ih! Apaan coba. Mungkin wajahku memang mudah sekali terbaca. Setiap apa yang aku pikirkan dalam hati pasti dia tahu. Menyebalkan.

"Setelah bertemu pertama kali denganmu waktu itu aku selalu menunggu hari Minggu dimana aku mengantar Bude Rima pengajian di Masjid Al Ikhlas. Berharap kamu datang juga. Kamu memang datang. Mungkin sekitar tiga kali aku melihatmu lagi."

Ketika Cinta Tak Mengenal Basa-basiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang