11. Tak Menentu

19 14 0
                                    

Sepulang dari Banyuwangi, belum ada lagi interaksi antara Alka dan Kay. Bukan karena tidak ada kesempatan. Hanya saja, Alka merasa sangat canggung. Apalagi, semenjak kejadian di pantai sore itu, hati Alka rasanya tak menentu.

Banyuwangi banyak sekali menuntun Alka pada cerita tak terduga. Tentang sikap Kay yang meluluhkan pertahanan hatinya. Tentang rasa trauma yang perlahan luntur karena ada yang mendampingi proses pulihnya.

"Mau berangkat ke masjid, Al?" tanya Isna ketika melihat Alka yang sudah berpenampilan rapi dengan membawa tas ransel andalannya.

"Iya, Yuk. Minggu lalu udah nggak masuk. Bisa ketinggalan banyak nanti," sahut Alka sembari membenarkan jilbab yang ia kenakan.

Setelah berpamitan, Alka mengeluarkan sepedanya dari gudang khusus untuk menyimpan sepeda dan barang-barang milik anak kos Bunga Desa. Alka menuntut sepedanya dengan pelan, takut mengganggu teman-temannya yang sedang beristirahat.

"Hai!" ucap seseorang yang sudah berada di depan kos Alka, di samping sepeda.

Dialah Kay, yang selalu menunggu Alka untuk berangkat bareng ke masjid. Lelaki itu selalu menghampiri Alka terlebih dahulu dibandingkan dengan langsung ke masjid. Padahal, Alka sudah berkali-kali melarang karena takut merepotkan. Namun, Kay tak menghiraukan.

"Sekalian lewat." Itulah respons Kay tiap kali Alka protes.

Padahal, kalau dibilang 'sekalian lewat', ya enggak juga. Soalnya, kalau hendak ke kos Bunga Desa harus masuk ke gang. Sedangkan, kalau dari Pesantren yang Kay tempati, tinggal lurus saja bisa langsung sampai masjid. Sehingga, jawaban Kay bisa dibilang kurang masuk akal.

Setelah menyapa Kay, Alka mengayuh sepedanya dengan santai sambil menikmati embusan angin pagi yang begitu segar dan diikuti Kay di belakangnya. Sepanjang perjalanan, tidak ada obrolan ringan seperti biasanya dua orang itu lakukan. Keduanya saling diam, seolah kesejukan yang menyapa kali ini lebih menarik perhatian.

Sesampainya di pelataran masjid, Alka dan Kay memarkirkan sepeda masing-masing di tempat parkir. Lalu, keduanya berpisah. Sebab, tempat antara perempuan dan laki-laki memang tidak dicampur.

"Bismillah," ucap Alka ketika duduk bersimpuh di barisan paling belakang. Kali ini, ia butuh sandaran.

"Soalnya, sandaran hidup belum available." Alka tertawa pelan selepas mengucapkan kata konyol itu.

Setelah posisinya dirasa pas, Alka segera mengeluarkan kitabnya dari dalam tas ransel. Kemudian, ia meletakkan tasnya di samping tempat duduknya. Alka jga tidak lupa mengeluarkan buku catatan kecil yang diperuntukkan untuk menulis penjelasan dari sang guru, agar ia lebih paham. Lalu, ia memegang kitabnya dan menumpukan pada pangkuannya sambil menunggu sang guru datang.

Selang lima menit, kegiatan mengaji kitab itu pun mulai. Alka mendengarkan penjelasan dari sang guru tentang kitab yang mengandung hikmah itu dengan khusyuk.

Dalam kitab ini, Ibnu 'Athaillah, melalui pendekatan tasawuf, mengajak manusia untuk bisa bersikap seimbang antara urusan duniawi dan akhirat. Bisa dibilang, manusia memang seharusnya tidak hanya berfokus pada hal duniawi saja. Dengan jalur spiritual, setiap insan sebaiknya mampu mengosongkan hati dan pikiran untuk menghadirkan Allah dalam hatinya agar bisa menyingkirkan urusan dunia untuk sementara waktu. Akan tetapi, tidak harus dengan mengabaikan tanggung jawab duniawi.

"Pembahasannya berat, ya?"

Sebagai sosok remaja berusia menuju tujuh belas tahun, Alka merasa kurang pantas belajar kitab Al-Hikam ini. Namun, keingintahuannya juga cukup tinggi. Selain itu, ia ingin mematahkan stigma kebanyakan orang yang menganggap anak remaja hanya bisa hura-hura dan menghabiskan uang orangtuanya. Menurut Alka, anak remaja seusianya juga bisa menjadi seorang hamba Allah yang lebih berguna. Salah satunya dengan terus belajar dan menambah wawasan seperti yang ia lakukan saat ini.

IKHTARA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang