12. Beda Kelas

20 13 0
                                    

"Mbak Alka, dekat ya ... sama Mas Kaysan?" tanya gadis berwajah cantik dengan kulit kuning langsat yang duduk tepat di samping Alka kemarin. Tepatnya, ketika Alka mengikuti acara perkumpulan anak-anak Banyuwangi.

"Ya, dekat. 'Kan satu kelas. Ada jadwal belajar bareng juga." Itulah jawaban netral yang bisa Alka sampaikan pada gadis yang kira-kira seusia dengannya itu. Kalau Alka tidak salah dengar, namanya Hafiza. Teman-teman yang lain memanggilnya Fiza.

Alka tidak bisa menyangkal bahwa gadis yang bernama Fiza itu memiliki paras yang menawan. Orangnya supel dan mudah disenangi banyak orang. Gadis itu adalah tipe orang yang memiliki semangat tinggi. Terlihat dari senyumnya yang secerah mentari yang tak henti tersungging dari bibir tipis gadis itu. Bisa dibilang, Fiza adalah sosok yang mampu menghidupkan suasana.

Berbeda dengan Alka yang pemalu pada momen tertentu. Apalagi, dengan orang yang baru dikenalnya. Sungguh, jika disandingkan, Alka dan Fiza sangat timpang. Sebab, Alka yang sekarang banyak menyimpan duka dalam diam. Ia benar-benar berada pada titik kerapuhan. Meskipun, untuk saat ini, masih bisa ia sembunyikan.

Apa Alka iri dengan gadis itu? Tentu saja tidak.

"Kalau aku laki-laki, mungkin aku juga akan semudah itu suka sama Fiza," ungkap Alka.

Namun, perihal rasa, tentu saja beda cerita. Sangat benar adanya jika hati Alka sedikit terusik. Apalagi, mengetahui siapa Fiza sebenarnya. Gadis itu merupakan salah satu putri kyai ternama di kota Banyuwangi. Isi kepala Alka mendadak penuh karena dipaksa menebak sesuatu yang membuat sudut hatinya nyeri.

"Gimana kalau ternyata Kay dan Fiza dijodohkan?" Gejolak hati Alka mulai berpaling.

"Gus dan Ning ... memang seperti itu yang kerap terjadi, 'kan?" hati Alka makin tidak karuan.

Alka berusaha mengenyahkan pikiran yang sedang berkecamuk. Ia kembali fokus pada nama-nama Allah yang sedari tadi hanya ia pandangi saja lafaz indah yang tertera di bagian belakang Mushaf.

Asmaul Husna.

Alka berharap dengan lantaran merapal 99 nama Allah tersebut, hatinya menjadi lebih tentram.

"Allah dulu, baru makhluk-Nya." Alka berkata dengan mantap.

Sehabis melantunkan Asmaul Husna, Alka meletakkan Mushaf yang sudah sejak setengah tiga tadi ia pegang. Lalu, ia menyandarkan diri pada lemari pakaian yang berada di kamar, di dekat ia melaksanakan salat malam tadi. Jika dalam keadaan diam seperti sekarang, pikirannya sering melayang tak tentu arah.

Alka melirik sekilas ke arah jam dinding, waktu Subuh masih sekitar setengah jam lagi. Biasanya, ia akan membaca Al Quran sampai menjelang Subuh. Namun, tidak untuk sekarang. Ia merasa melafalkan satu juz sudah cukup. Saat ini, ia hanya ingin bersantai sambil menunggu sang pemilik kos memanggil namanya.

"Mbak Alka! Tolong teman-temannya dibangunkan, nggih!" pinta Ibu Kos pada Alka.

"Nggih, Bu," timpal Alka singkat.

Pemilik kos Bunga Desa itu sudah paham kebiasaan Alka. Gadis itu memang terbiasa bangun pada pukul dua pagi untuk menghamba pada Sang Mahakuasa. Alka sengaja melanggengkan kegiatan rutin selama di pesantren itu sampai sekarang. Sebab, ia selalu mengingat pesan Pak Radhit dan Bu Inka bahwa meskipun tidak menetap di pesantren, tetapi akhlak sebagai seorang santri tidak boleh lepas. Termasuk, melakukan amalan-amalan baik yang sudah diterapkan sejak di pesantren dulu.

Untuk memenuhi amanah dari ibu kos, Alka segera bangkit. Kemudian, ia membangunkan satu per satu penghuni kamar, tak terkecuali Isna. Setelah itu, ia melakukan salat sunah dua rakaat sebelum Subuh di kamar.

IKHTARA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang