BAB 27 Bola Miniatur

22 11 38
                                    

Tidak sedikit banyak siswa yang menghujat dan mencibir Kiyana Siskova berjualan kue, terutama siswa perempuan. Mereka merasa tersaingi oleh seorang Kiyana Siskova yang mempunyai wajah menawan mampu memikat kaum adam dengan mudahnya, ditambah lagi bentuk tubuhnya, tinggi semampai dan juga termasuk dari keluarga yang bisa dibilang ekonomi menengah ke atas. Banyak yang iri atas kehidupan Kiyana yang terlihat sangat sempurna, namun mereka semua tidak tau kehidupan seperti apa yang dijalani Kiyana Siskova.

"Njir, lo skakmat Siril habis-habisan, bangga gue sama lo, nggak sia-sia gue didik lo jadi pinter gini," ujar Tina seraya merangkul bahu Kiyana.

"Enak aja, gue pinter dari lahir kali," sahut Kiyana.

Kiyana merasa, meskipun hidup sederhana tetapi ia lebih bisa menikmati hidup, tidak ada lagi jarak yang memisahkannya dengan Alivia. Kebahagian memang tidak ada tolok ukurnya, setiap orang akan berbeda-beda mengekspresikan kebahagiaannya. Kala itu, hujan turun tanpa bisa diprekdiksi, saat Tina menawarkan tumpangan kepadanya, ia secara halus menolaknya, ia beralasan akan mampir ke pasar sebentar untuk berbelanja, padahal kenyataannya, ia tidak ingin selalu mengandalkan Tina. Kiyana dengan sedikit berlari kecil masuk ke dalam angkot.

Jarak dari sekolah untuk sampai ke toko kuenya cukup lumayan jauh. Kiyana tidak suka jika hujan turun, tapi kali ini ia menikmati setiap bulir-bulir air turun dari langit, rasanya begitu sangat menenangkan. Seorang laki-laki yang terlihat seperti preman pasar duduk di sampingnya, Kiyana merasa risi, karena laki-laki itu terus memojokkannya ke sisi, Tiba-tiba saja seseorang masuk ke dalam angkot dan duduk ditengah-tengah antara Kiyana dan laki-laki yang sepertinya preman pasar itu. Kiyana terhipnotis dengan siapa yang tiba-tiba duduk di sampingnya, secara tidak langsung menyelamatkannya dari laki-laki yang akan melakukan tindakan tidak pantas.

"Lo ngapain ada di sini?" tanya Kiyana tanpa basa-basi.

"Ini angkot, siapa pun boleh naik," balas Galen datar.

"Maksud gue, lo mau kemana? Terus motor lo mana?"

"Gue sengaja naik angkot, supaya bisa melindungi lo dari orang itu," ucap Galen pelan seraya menunjuk laki-laki yang duduk di sampingnya dengan dagunya.

"Gimana tadi kompetisi lo? Berapa tahap lagi lo bisa lolos dan berangkat ke Brazil?"

"Dua tahap lagi, doa'in gue ya?"

"Kenapa lo minta doa sama gue? Emangnya gue orang tua lo!"

"Karena gue nggak punya siapa pun, di dunia ini selain lo."

Kiyana merasa telah mengucapkan kalimat yang salah, ia pun menggenggam tangan Galen, bukan maksudnya menyindir atau pun, mengingatkannya pada orang yang sangat Galen rindukan.

"Maaf, bukan maksud gue—"

Galen membalas genggaman tangan Kiyana. "Gue mau lo selalu sebut nama gue disetiap sujud lo, karena gue akan selalu berharap bisa selalu hidup sama lo."

"Mulai deh ..."

Jika laki-laki mengatakan kata romantis, maka wanita akan menganggapnya sebuah gombalan. Jika laki-laki tidak romantis maka wanita akan menganggapnya laki-laki yang tidak peka, Galen menjadi merasa serba salah, ia mengacak rambutnya prustasi hingga rambutnya terlihat sedikit berantakan, meski begitu, tetap saja membuat Kiyana menatap pria bermata tidak terlalu lebar itu semakin bertambah kharismatik.

"Kiri mang kiri ..." Kiyana meminta supir angkot untuk berhenti di depan pasar.

"Kenapa lo turun di sini? Di luar masih hujan."

"Ada sesuatu yang harus gue beli."

Kiyana beranjak dari tempat duduknya, begitu pun dengan Galen yang mengikutinya dari belakang. Hujan kala itu masih cukup deras, Kiyana dan Galen berlari kecil dan berteduh disalah satu toko mainan.

Deskripsi (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang