Bab 25

117 12 4
                                        

***

"Bapak menyayangkan sikap kamu yang kurang ajar itu." Arfan langsung pada inti obrolan setelah barusan meminta Bunga untuk mengikutinya sampai pohon dekat parkiran. Mereka duduk sampingan di sebuah bangku panjang dan terlihat pula Arfan yang menjaga jarak dari Bunga.

"Apa–maksud Bapak?" tanya Bunga tidak memahami. Tentu dia akan bersikap seolah kurang peduli terhadap sekitar, karena kini dia memprioritaskan Arfan ketimbang hal lain.

"Kenapa kamu tampar Bu Rianti?" Suara Arfan terdengar tenang, namun dari semburat merah yang tampak di wajah menandakan bahwa dirinya sangat ingin melampiaskan emosinya. Sedikit lagi dia menahannya, sebelum mendengar pengakuan dari Bunga.

Sementara untuk Bunga sendiri, tampak belum membuka mulut. Sama sekali bibirnya mengatup kuat. Mungkin pertanyaan tadi cuma terlewat di telinga Bunga lalu pergi begitu saja tanpa mencernanya.

"Bapak tanya. Kenapa kamu tampar Bu Rianti?" Arfan sekali lagi melempar pertanyaan. Kali ini dia melipat kedua tangannya. "Kamu mencoba untuk merangkai kebohongan, biar Bapak dibodohi gitu?"

"Ng–nggak kayak gitu, pak. Saya cuma ..."

"Cuma apa?" Arfan mengerling ke arah Bunga, namun jangan lupakan dia masih menyorot tajam asisten dosen di sampingnya. "Cuma karena Bu Rianti punya suami seperti Bapak dan sahabat seperti Pak Juan, apa itu buat kamu iri?"

"Sa—saya cuma ingin beri pelajaran ke Bu Rianti, pak." Bunga berkata jujur namun dengan suara yang sangat merendah. "Saya nggak suka Bu Rianti maruk memiliki keduanya. Dia seperti mencoba bermain dengan Bapak. Bila Bu Rianti bosan, Bu Rianti akan berpaling ke Pak Juan."

"Alasan yang masuk akal, tapi Bapak nggak terima," ucap Arfan skakmat. "Kamu tuh bohong. Kamu bilang, kamu suka sama Bapak sampai kamu larang Bu Rianti untuk mendekati Bapak."

Arfan menolehkan kepala sepenuhnya. "Tujuan kamu bilang begitu apa? Kamu bangga gitu? Kamu jadi 'pelakor'? Mahasiswi macam apa sih kamu? Sampai kamu bersikap begitu? Kamu mahasiswi yang punya potensi, Bunga. Kalau situasinya begini caranya, Bapak harus berdalih bagaimana, hah?"

"Saya akui saya memang suka sama Bapak." Bunga menekankan nada bicaranya, seakan ingin membuktikan bahwa ucapannya yang itu tidak mengandung kebohongan. "Saya ... sejak awal saya bekerja sama Bapak, saya punya perasaan. Cuma saya sembunyikan karena tahu Bapak mendekati Bu Rianti."

Arfan masih mempertahankan sikap dinginnya pada Bunga, namun dia dengar apabila Bunga membacot lagi. Sembari melipat kedua tangannya.

"Saya nggak suka sama Bu Rianti, bahkan saya punya keinginan untuk menghancurkan pernikahan Bapak sama Bu Rianti. Tentu, saya mulai dengan mengacaukan akad nikah Bapak lalu dengan gilanya saya mengatakan bahwa saya menjalin hubungan dengan Bapak bahkan Bapak sudah mencium saya. Maka dengan begitu, pernikahan kalian tertunda."

Arfan kini mengepalkan kedua tangannya. Napasnya kini mulai tidak beraturan, langsung berdiri tegak sambil meredakan amarah yang menaik sampai kepala.

"Kalau saja Bapak menduga hal itu dari awal, Bapak bisa saja memecat kamu," kata Arfan dengan suara bergetar. Dia benar-benar menunjukkan amarah yang meluap-luap.

"Kamu beneran sudah gila! Gila, tahu nggak!" Arfan berseru tak ragu menunjuk kuat Bunga. "Hatimu udah tertutup kuat-kuat. Terus dengan berniat seperti itu, apa yang bisa kamu dapatkan? Hasil merebut itu tidak akan berkah, Bunga. Tolong kamu baca deh berita-berita di luaran sana, yang mana pelakor bangga dengan hasil rebutannya tapi di masa depan mereka sengsara. Kamu mau seperti itu, hah?"

Bunga termangu, bahkan dari ucapan Arfan yang mengatakan hasil merebut tak akan berkah justru tidak masuk dalam hatinya. Memang, pandangannya benar-benar tertutup. Saat ini dia tengah fokus untuk mendapatkan Arfan, apa pun caranya.

Find the Real LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang