BONITA-01

20 2 0
                                    

Bonita keluar dari kamar membawa jas berwarna hitam dan dasi bercorak garis-garis di tangannya. Senyumnya mengembang ketika melihat seorang pria tampan yang sudah menjadi suaminya selama dua puluh dua bulan ini sedang sarapan di meja makan berbentuk persegi.

Pria itu memakan sarapannya dengan lahap dan hampir menghabiskan makanan di dalam piringnya, tinggal dua suap lagi. Nasi goreng seafood, makanan kesukaan pria itu dengan tambahan telur mata sapi dan minumnya kopi hitam dengan sedikit gula. Bonita sudah sangat hafal kebiasaan suaminya.

"Pelan-pelan makannya," ucap Bonita sesampainya di belakang pria itu. Tangannya mengusap lembut bahu suaminya yang seketika membuat pria tampan itu memandangnya dengan mata yang berbinar.

"Kamu kan tahu, Sayang, kalau aku suka banget sama masakan kamu ini." Ravian menjawab sambil mengusap lembut tangan Bonita yang ada di bahunya.

"Aku tahu, kok, kalau suamiku yang tampan ini bucin banget sama masakan yang aku bikin. Apa lagi kalau menunya nasi goreng seafood ditambah telur mata sapi, pasti nambah terus, deh, kalau nggak aku tegur."

"Bukan cuma sama masakan kamu, loh, aku bucinnya. Sama kamu juga aku bucin."

"Alah, pagi-pagi udah gombal aja kamu. Buruan, nanti kamu telat. Acaranya mulai jam sembilan, kan? Ini udah jam delapan, loh. Kamu nih suka susah banget dibangunin." Bonita berjalan ke arah dapur untuk menyingkirkan piring Ravian yang sudah kosong.

"Kan itu juga gara-gara kamu aku jadi malas bangun pagi." Tangan Ravian melingkari pinggang Bonita yang sudah berdiri di depan tempat mencuci piring.

"Jadi kamu nyalahin aku?" tanya Bonita mulai menyalakan keran dan membasuh piring milik suaminya. Bonita sudah makan lebih awal saat suaminya belum mau beranjak dari tempat tidur.

"Iya, aku nyalahin kamu soalnya kamu terlalu sayang kalau dibiarin aja tanpa dinikmatin keindahanmu waktu pagi." Ravian mulai menciumi tengkuk Bonita yang tidak tertutup kain. Rambut wanita itu digelung sehingga memudahkan Ravian menciumi tengkuknya.

"Kamu tahu, Sayang, kalau pagi kamu itu seperti mutiara yang kena sinar matahari. Berkilau dan indah banget. Menggoda buat dimiliki."

"O, ya? Aku kan udah jadi milik kamu, " timpal Bonita berbalik dan mengalungkan lengannya di leher Ravian.

"Ya, dan kamu lebih indah dari itu," jawab Ravian singkat lalu mulai menempelkan bibirnya pada bibir Bonita.

Disesapnya bibir itu dengan penuh minat, seakan tidak ingin kehilangan kenikmatannya walau sedetik sekalipun. Mata Bonita terpejam menikmati ciuman Ravian yang selalu memabukkan.

Meski pernikahan mereka sudah hampir dua tahun, tetapi mereka masih belum dikaruniai buah hati padahal baik Ravian maupun Bonita sudah sangat mendambakan keturunan. Mereka juga rajin mengecek kesehatan setiap bulan dan tidak ada masalah dengan kesehatan mereka. Semuanya normal dan sehat.

"Aku minta maaf karena belum bisa kasih keturunan buat kamu," lirih Bonita setelah melepas ciuman mereka. Matanya mulai berkaca-kaca karena kesedihan di dalam dirinya.

Dia merasa gagal menjadi seorang istri karena belum juga hamil, padahal dia tahu jika suaminya itu sudah sangat menginginkan momongan. Bukan hanya mereka berdua yang sangat berharap, tetapi orang tua mereka juga sering menanyakan mengenai kehamilannya yang belum terlihat sampai sekarang.

"Hei, kenapa ngomong gitu? Kita udah sering membahas masalah ini. Aku nggak apa-apa dengan kita yang belum memiliki buah hati."

"Kamu pasti udah pengen banget, kan, punya momongan? Mama sama Papa pasti juga pengen banget punya cucu dari kita, terlebih kamu anak pertama dan satu-satunya anak cowok dari mama dan papa kamu."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 07, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BONITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang