Lingua Franca

57 6 0
                                    

Tak pernah kubayangkan betapa sulit berkomunikasi dengan para penghuni Dysnomia. Kupikir ini akan semudah berinteraksi dengan kaum Jeirad di Jupiter, Koapio di Pluto, Estavic di Charon, atau Felua di Eris.

Tapi tidak.

Berapa kali pun aku dan rekan-rekanku mencoba, para penduduk Dysnomia sepertinya sama sekali tak peduli pada ucapan kami.

Sebagai seorang ahli bahasa alien yang telah berperan menjadi penghubung antara manusia Bumi dengan berbagai kaum lain di alam semesta, hal ini sungguh membuatku frustrasi.

"Pasti ada cara untuk membuat mereka merespons apa yang kita katakan," ucapku pada Dr. Felisa Natawiharja, wanita tigapuluhan yang menjadi salah satu rekanku.

Felisa, yang duduk dan meminum secangkir kopi Jeirad sambil mengamati data-data di laptopnya, hanya mengangkat bahu dan berkata, "Aku tak tahu, Gunnar, tapi kita sudah mencoba segala yang kita bisa. Kita sudah mengumpulkan beragam bahasa di alam semesta, menerapkan aneka dialek dan adab berbicara para koresponden dari berbagai planet pada makhluk-makhluk sialan ini. Tapi apa yang kita dapatkan? Hanya ungkapan wajah masam dan ketidakpedulian."

Sambil berbisik, dia menambahkan, "Kurasa mereka tak sepintar kaum lain yang selama ini kita temui, Gunnar. Mungkin kita harus mengangkat bendera putih dan kembali ke Bumi."

Aku merengut. Berjalan mondar-mandir di ruangan steril nan sempit itu. Pandanganku terpaku pada jendela kaca satu arah yang menghubungkan kami dengan alien-alien berwajah dan berpostur tubuh sama di ruang karantina di sebelah ruangan kami. "Aku tak menyangka kau akan menyarankanku untuk menyerah begitu saja." Aku berbalik dan menatap Felisa. Jempolku menunjuk jendela. "Kau sudah lihat apa yang mereka lakukan di sana?"

Felisa berdiri dari tempat duduknya, menenggak kopinya sampai habis, lantas berjalan gemulai ke arah jendela kaca. Dia berdiri di sebelahku—menebarkan parfum Felua yang memabukkan—dan menatap apa yang dilakukan kelima sampel penghuni Dysnomia di balik jendela.

Dia mengangguk. "Tanah liat dari Bumi. Ya, aku sudah melihatnya. Dari sekian objek yang kita berikan pada mereka, hanya itu objek yang sepertinya menarik perhatian mereka. Sebagian besar dari mereka memakannya, tapi,"—dengan bolpennya, Felisa menunjuk ke salah satu sudut di ruang sebelah—"kau lihat alien yang satu itu? Dia sepertinya sosok paling cerdas di antara kawan-kawannya. Dia satunya-satunya alien yang berhasil mengolah tanah liat itu menjadi barang-barang tembikar."

Aku menatap alien itu beberapa saat, lalu mengangkat alis pada Felisa.

Dia menangkap maksudku. "Oh. Kaupikir kita harus mencoba mengobrol pada mereka tentang seni mengolah tembikar?" Tatapannya memutar ke langit-langit. "Kemarin, Dr. Lung sudah mencobanya dan hasilnya adalah bencana. Kalau aku jadi kau, aku tak akan berminat untuk mengulangi kegagalan yang telah dilakukan rekan kita."

Aku tertegun, menyentuh dagu. "Bencana? Apa maksudnya itu?"

Felisa mengangkat bahu. "Yah, kalau kau pernah menonton dokumentasi lawas tentang kelakuan dan kata-kata seorang gubernur Jakarta[*] saat mengadakan rapat dengan para pejabat lain, kurasa kau bisa membayangkan apa yang terjadi pada Dr. Lung."

Aku terbelalak. "Mereka memaki-maki Dr. Lung?" Lantas menatap jendela kaca dan mengamati para alien yang masih asyik memakan atau bermain dengan tanah liat masing-masing. "Aku kesulitan membayangkan para alien itu berteriak dan melontarkan kata-kata kotor. Maksudku, mereka tampak begitu pasif, begitu terfokus pada kesibukan masing-masing, dengan tingkat konsentrasi yang nyaris melebihi anak-anak autis."

Felisa melenggok kembali ke kursinya, lalu menengok cangkir kopinya yang kosong sambil merengut. "Yah, kalau kau tak percaya, kenapa tak kau coba saja lakukan apa yang kau mau?" Dengan mimik serius, dia duduk dan kembali memusatkan perhatian pada data-data di laptopnya. "Aku tahu kau seorang yang lebih menyukai praktek daripada teori."

Lingua FrancaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang