Berbeda kelas dengan seseorang yang begitu dikagumi membuat Alka dirundung pilu. Meskipun beberapa kali bertemu di luar, tetapi rasa rindu itu dengan tidak sopan menyelinap masuk. Alka nyaris kewalahan mengendalikan hati. Bagi Alka, seolah ada yang hilang dari dalam diri.
Alka menghela napas.
Biasanya, Alka bisa dengan leluasa mencuri-curi pandang kala kegiatan belajar mengajar di kelas berlangsung. Kali ini, ia harus puas melihat wajah sosok yang belum lama ini mengisi hatinya hanya sekitar seminggu sekali. Itu pun tidak lama, karena harus fokus mengaji setelahnya.
"Bengong aja!" tegur Isna yang baru selesai mandi.
Alka sontak terkesiap. Ia menoleh pada Isna yang sedang fokus mengeringkan rambut.
"Perasaan biasa aja, deh," bantah Alka.
Isna lantas tertawa.
"Udah pinter bohong nih, Bocil!" ujar Isna yang memicu rasa kesal di hati Alka.
Alka tidak bermaksud membohongi orang lain. Ia hanya mencoba untuk tidak terlalu transparan menyoal perasaannya. Apalagi, menurut Alka, rasa itu masih semu. Alka sendiri juga masih bingung mengartikan perhatian lelaki yang sedang Alka pikirkan itu.
"Kalau butuh teman cerita ... aku siap jadi pendengar setia. Jangan sungkan hubungi, ya! Kalau responsnya lama, berarti masih ada kegiatan di pondok."
Itu yang dikatakan Kay saat makan bareng di warung makan Penyetan sepulang dari tempat kursus kala itu. Alka merasa terharu. Ia seolah mendapat tempat spesial dalam hidup Kay.
"Aku nggak boleh terlalu percaya diri. Jangan-jangan ... Kay memang memperlakukan semua orang dengan baik kayak gitu." Alka menyadarkan diri.
"Apalagi, Kay tahu tentang traumaku. Pasti dia hanya ingin menjadi teman agar aku bisa melewati hari-hari beratku selama di sini." Alka berpikir keras.
Dalam setiap kesempatan, Alka selalu menasihati diri untuk tidak terlalu baper. Ia harus membangun benteng diri lebih kuat daripada harapan yang ia miliki. Sehingga, ketika suatu saat hatinya memang benar-benar salah menerjemahkan maksud dari sikap baik Kay, rasa kecewa itu tidak mengirisnya terlalu dalam.
"Alka!" teriak Isna tepat di samping Alka.
Alka kaget bukan main. Telinganya seakan terbakar karena terkontaminasi teriakan Isna yang sangat menggelegar.
"Ayuk, ih!" gerutu Alka. Ia meluapkan kekesalannya dengan mencubit lengan Isna agak keras.
"Bocil mulai nggak sopan!" balas Isna dengan menimpuk Alka dengan handuk basah yang berada dalam genggaman.
Aksi peperangan antara Alka dan Isna pun berlangsung sengit. Memang tidak serius. Namun, cukup membuat seisi kos Bunga Desa terkejut.
"Hai, kalian! Ribut benar deh siang-siang gini. Kayak di hutan tahu, nggak?" ucap Luna lumayan lantang.
Alka dan Isna seketika terdiam. Setelah itu, keduanya saling pandang, lalu tertawa terbahak menyadari kelakuannya yang seperti anak kecil.
"Kalau aku memang masih kecil, sih. Belum genap tujuh belas tahun," lirih Alka sambil tersenyum simpul.
"Kalian mau ikut, nggak? Aku dan yang lain janjian sama Arya mau makan bareng di luar. Yuk, ah! Biar makin rame," ajak Luna kemudian.
"Semuanya pada ikut?" tanya Isna yang langsung dibalas anggukan oleh Luna.
"Kalau ada Mas Arya, besar kemungkinan Mas Lingga juga ikut," bisik hati Alka.
"Ayok, Al! Siap-siap," ucap Isna sebelum Alka bertanya lebih lanjut.
KAMU SEDANG MEMBACA
IKHTARA (SUDAH TERBIT)
Teen FictionAlka Radhika, remaja berusia enam belas tahun baru saja mengalami kecelakaan maut bersama keluarganya sampai menyebabkan sang paman meninggal. Rasa trauma menghantui gadis remaja itu sepanjang waktu. Sehingga, ia memutuskan untuk hijrah dari kampung...