Cerita 05 | Patil Lele

2 0 0
                                    

Ini adalah pengalaman ayahku semasa beliau muda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ini adalah pengalaman ayahku semasa beliau muda. Untuk mempermudah penceritaan, aku akan menggunakan sudut pandang orang pertama, yaitu ayahku sebagai si 'Aku'.

Waktu itu aku masih kecil, aku masih duduk di bangku sekolah dasar, kalau tidak salah masih kelas 3 atau 4, aku tidak begitu ingat pastinya. Kejadiannya terjadi di sekitar tahun 1977 atau 1978, di dekat rumah tempat tinggalku di kota Surabaya.

Malam itu, sepulang sholat maghrib, aku dan teman-temanku merasa bosan dan ingin bermain. Teman-temanku pun mulai mengajukan usul permainan-permainan anak-anak yang mungkin bisa kita mainkan. Setelah kami berdiskusi, aku dan teman-temanku memutuskan untuk bermain patil lele. Pilihan ini cukup sempurna karena durasi permainan yang tidak terlalu lama, persiapan untuk permainan ini pun cukup mudah, kami hanya membutuhkan 2 tongkat, dimana yang satu kecil, sedangkan satunya besar.

Patil lele, atau disebut juga gantrik, atau gatrik ini adalah permainan jadul yang mana bermainnya menggunakan dua buah tongkat kayu. Satu tongkat sebagai pemukul, dan tongkat satunya yang dipukul ke arah lawan. Cara bermainnya, tongkat yang kecil diletakkan di atas lubang kecil di tanah, lalu pemain menyukit tongkat kecil itu menggunakan tongkat pemukul agar terlempar di udara, tongkat kecil itu kemudian dipukulkan ke lawan yang bertindak sebagai penangkap, jika terkena tongkat kayu kecilnya maka penangkap kalah, namun jika tertangkap, maka pemukul yang kalah dan pemain akan ganti posisi antara pemukul dan penangkap. Lengkapnya bisa cari tahu di internet, ada banyak contoh permainannya.

Kami bermain setelah sholat maghrib di dekat rumah. Niatnya kami mau menghabiskan waktu sebelum adzan isya berkumandang. Tempat kami bermain adalah jalan di samping rumahku, tepat didepan sebuah rumah kosong yang sudah lama tak ditempati. Rumah kosong ini saking terlantarnya sampai pintu rumahnya saja tidak ada, hanya ada kusen tanpa daun pintu. Kaca jendelanya banyak yang pecah dan berserakan di sekitar ruang tamu.

Kami, anak-anak kampung, selalu dilarang masuk ke rumah ini oleh orang tua kami. Selain bahaya karena banyak pecahan kaca dan mungkin ada hewan seperti ular, juga karena rumah ini terkenal angker. Para warga seringkali menghindari rumah ini di malam hari, karena takut apabila terjadi sesuatu hal yang menyeramkan ketika melewati rumah itu.

Kami pun bermain dengan gembira. Posisi pemukul berganti-ganti, karena jumlah kami yang cukup banyak. Tibalah giliranku untuk menjadi pemukul. Aku bersiap untuk menyukit tongkat kecil itu ke atas, dan kemudian aku akan memukul tongkat itu ke arah lawan. Namun, aku memukul tongkat kecil itu terlalu keras, sehingga tongkat pemukulnya yang agak panjang juga ikut terlempar. Apesnya, kayu itu terlempar masuk ke dalam rumah kosong itu.

Aku dan teman-temanku saling pandang, kami semua enggan masuk ke dalam rumah kosong itu. Semua temanku memintaku masuk untuk mengambil tongkat pemukul itu. Toh, aku juga yang membuatnya terlempar masuk kesana. Dengan agak enggan, akupun masuk sendirian. Iya sendirian, sialan memang, teman-temanku tak ada yang mau menemani.

Aku sampai di depan pintu, dan melihat ke sekitar. Rumah ini masih memiliki banyak perabotan. Namun aku tak melihat tongkat kayu yang kucari. Kukira tongkat itu tak mungkin terlempar terlalu jauh di ruang tamu, tapi aku tak melihatnya. Akhirnya aku mulai masuk ke dalam. Kucari tongkat itu semakin kedalam.

Setelah bersusah payah, aku pun menemukan tongkat yang terlempar tadi, bersandar di belakang kursi di ruang tamu itu. Agak aneh, kecil sekali kemungkinan sebuah tongkat yang terlempar bisa berada dalam posisi bersandar seperti itu, bahkan di belakang sebuah kursi yang menghadap ke arah pintu. Bagaimana bisa tongkat itu disana, pikirku. Tapi aku tak terlalu ambil pusing, teman-temanku pasti sudah menunggu. Kuambil tongkat itu, dan bergegas keluar.

"Wes ketemu rek, tongkat e!" (tongkatnya sudah ketemu!), teriakku sambil mengacungkan tongkat itu tinggi-tinggi.

Teman-temanku menoleh ke arahku dan sekejap kemudian berhambur melarikan diri sambil berteriak-teriak ketakutan. Aku keheranan sendirian disana. Akibat suara berisik teriakan teman-temanku, tetangga yang tinggal di sebelah rumah kosong itu keluar dari rumahnya. Nama beliau pak Toba. Pak Toba melihat ke arahku yang masih mengacungkan tongkat dengan bingung. Ekspresi muka beliau langsung berubah pucat dan ketakutan.

"Nemu nang di iku!" (Nemu dimana itu), teriak beliau dengan keras.

Aku terkejut dan menjawab tergagap, "d...dek kono paklek" (di sana paman), sambil menunjuk ke rumah kosong dibelakangku.

"Balekno! Uncalno balek nang jero kono!" (Kembalikan! Lempar kembali ke dalam sana!), teriak pak Toba lagi. Aku pun menurut dan melemparkan tongkat kayuku kedalam rumah kosong itu.

"Wes, mulih! Bar maghrib kok malah dolan to le, le." (Sudah, pulang! Sehabis maghrib kok malah bermain sih nak), ujar beliau dengan suara yang lebih lembut sedikit. Aku meminta maaf dan langsung ngacir pulang, sebelum makin diomeli pak Toba.

Keesokan harinya, aku menemui teman-temanku yang semalam bermain patil lele bersamaku. Aku menanyakan kenapa mereka semalam meninggalkanku, pakai lari-lari ketakutan segala, sampai-sampai aku dimarahi pak Toha sendirian gara-gara ditinggalkan mereka.

"Kon eroh ta sing mbok gowo mang bengi iku opo?" (kamu tahu yang kamu bawa semalem itu apa?), tanya salah satu temanku.

Aku menjawab singkat, "tongkat".

Teman-temanku saling pandang, lalu menggeleng dan berkata, "sing mbok gowo iku sikil! Sikil e bayi!" (Yang kamu bawa itu kaki! Kakinya bayi!).

Aku kaget, aku ingat betul semalam yang kupegang adalah tongkat kayu yang keras dan kaku lurus. Tapi teman-temanku mengaku melihatku membawa kaki bayi yang hanya bagian paha sampai telapak kaki, tidak ada tubuhnya, dan aku memegang pergelangan kakinya. Mereka bahkan melihat kaki itu tertekuk dan bergoyang sedikit akibat kuacungkan tinggi-tinggi.

Aku pun keheranan, karena aku masih yakin tekstur yang kupegang semalam itu kayu kaku yang tidak lembut seperti kulit manusia. Wallahualam, entah apa yang sebenarnya kuambil dari rumah kosong itu, kayu atau kaki. Tapi yang jelas, itu adalah terakhir kalinya kami bermain di depan rumah kosong itu.

Titik Buta: Titik dimana mereka tidak terlihat mata kitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang