"Kepingan luka memang menyakitkan akan tetapi semua itu tak akan mudah terlihat orang lain apalagi disembuhkan sebab semua itu terpendam di lubuk hati seseorang."
-Agaraya-
Aga masih berada di rumah Raya untuk menemaninya. Dirinya iba melihat keadaan gadis itu. Harus hidup tanpa kehadirannya orang tua. Pantas saja gadis itu merasa sudah tak ada lagi tujuan untuk hidup.
Padahal pada hakikatnya manusia memiliki tujuan yang sama yakni hanya hidup karena Allah, beribadah, bertakwa, meninggalkan larangan-Nya, dan menjalani apa yang diperintahkannya.
Sisanya terserah manusia, memang hidup tak bisa dikendalikan oleh diri sendiri terkadang apa yang diinginkan tak bisa menjadi kenyataan. Percayalah Allah tahu apa yang baik untuk kita. Yang disukai belum tentu baik, yang dibenci belum tentu tidak baik.
Bisa saja yang terjadi malah sebaliknya. Sebagai manusia sepatutnya jangan putus asa meskipun garis akhirnya adalah kematian. Jikalau Allah masih memberikan kesempatan untuk hidup berarti masih mempunyai kesempatan bertakwa kepada Allah.
Aga mendongakkan kepalanya menatap setiap inci wajah gadis itu dengan lekat. Sementara Raya masih belum bisa menceritakan apa yang dialaminya kepada Aga.
Setidaknya kehadirannya membuat gadis itu sedikit tenang meskipun bisa saja dia nekat seperti yang kemarin.
"Ray, kenapa kamu ga cerita keadaan kamu ke Rain ataupun kedua ortumu?" tanyanya berharap pertanyaan dijawab oleh gadis itu.
Gadis itu memutar bola matanya. "Gue ga bisa Ga." Gadis itu menunduk ke bawah.
Entah mengapa setiap diluar sekolah sikap Raya berubah 180 derajat, seperti bukan jati diri gadis itu yang sebenarnya.
"Kenapa? Harusnya mereka tahu biar kamu ga sendirian." Aga melihat sekilas banyak sekali rahasia dan kepingan luka yang tertutupi oleh netra matanya.
Dari suara parau gadis itu pun dia bisa merasakan bahwa banyak sekali hal yang membuat mentalnya tidak stabil.
Kurangnya support dari orang yang di dekatnya menjadi semakin terjatuh dalam kepingan luka.
Sebuah luka yang sulit untuk disembuhkan. Jikalau luka fisik bisa terlihat jadi lebih mudah untuk disembuhkan. Sementara luka batin tak terlihat oleh mata dan terpendam dalam lubuk hati seseorang.
"Gue ga mau bikin mereka sedih ataupun khawatir liat keadaan gue selemah ini." Gadis itu menggigit bibirnya.
"Sampai kapan, Ray? Aku cuman takut di suatu waktu aku ga bisa buat nyelamatin kamu dan akan menyesal seumur hidup karena kehilanganmu." Aga menghembuskan napasnya. "Kamu dan Rain adalah sahabat. Harusnya seorang sahabat bisa membagi luka/kebahagiaannya."
"Iya elo bener cuman gue ga mau ngerepotin Rain, dia udah baik banget sama gue. Biarlah cukup elo dan Allah yang tahu soal ini." Bantah Raya yang membuat Aga kesal.
"Jikalau elo pergi gue ikhlas kok, masih ada Allah yang selalu ada buat gue." Gadis itu mengembangkan senyuman pahitnya.
"Yang kamu ucapkan ada bener sih, cuman, 'kan sebagai manusia pasti membutuhkan orang lain," respon Aga tak lagi kesal dengan Aga.
"Lagi pula pada dasarnya kita akan selalu mengalami kesepian. Lahir di dunia ini sendirian, mati pun sendirian." Gadis itu mengucapkan kata-kata mutiara yang membuat Aga cengo bisa-bisanya gadis seperti Raya mengatakan kata-kata yang bisa terserap oleh hati.
"Ya udah terserah kamu, maaf nih lancang ortumu mana? Kok ga ada?" tanya beruntun Aga sebab sedari tadi dirinya tak menemukan satupun orang di rumah ini kecuali Raya.
"Ortuku di luar kota sibuk kerja," balasnya acuh mendengar pertanyaan Aga membuatnya kepahitan yang membelenggu dirinya.
Aga mengangkat kedua tangannya di depan dada sebagai permintaan maaf karena tanpa sengaja membuat gadis itu teringat perilaku kedua orangtuanya yang tak peduli dengannya.
"Maaf Ray, aku ga bermaksud begitu." Aga menunduk karena merasa bersalah atas pertanyaan yang baru dia lontarkan.
"Gapapa emang realitanya begitu kok penuh dengan kepingan luka yang tertutupi." Gadis itu berusaha tegar meskipun dalam hatinya terasa rapuh dan menyakitkan.
"Ga, boleh Ga pinjem bahu elo sebentar?" tanyanya malu-malu kepada laki-laki yang dulu sangat dibencinya. Sekarang malah seperti tak ada dendam sekalipun dengannya. Bahkan semakin hari laki-laki berhasil membuat Raya sedikit tenang. Walaupun resikonya jika ada yang mengetahuinya bisa membuat gadis itu malu.
"Silakan, dengan senang hati," ucapanya lemah lembut. Gadis itu menyandarkan kepalanya ke bahu milik laki-laki itu.
'Ga terasa sikap Raya ke aku semakin membaik, semoga saja aku bisa selalu ada buat dia' batin Aga.
"Ray, menurut elo sikap gue gimana? Boleh jujur ga? Biar gue bisa menjadi lebih baik meski ga mudah?" tanyanya masih menyandar di bahu laki-laki itu.
"Elo itu dari luar kelihatan cuek, judes, tempramental tapi dari dalam lemah, rapuh, dan mudah tersenyum untuk menyembunyikan luka." Aga membalasnya dengan keadaan sejujurnya tanpa ada kebohongan.
"Berarti gue punya dua kepribadian ya?" tanyanya selepas mendengar apa yang telah diamati dari Aga.
"Bisa dibilang gitulah," balasnya singkat.
"Jadi gue aneh ya?"
"Ga, kamu istimewa."
"Maksudnya?"
"Kamu adalah orang istimewa bagiku meskipun dulu kamu ngeselin banget."
"Iya gue emang ngeselin." Gadis itu mencibikkan bibirnya karena kesal lalu mendongakan kepalanya, sebisa mungkin tubuhnya di geser menjauhi laki-laki itu.
"Ray, maaf gue cuman becanda loh," celetuk Aga.
"Becanda loh bikin hati gue mendidih," geram Raya masih dalam mode marah.
"Berarti kamu ngijinin buka hati kamu buat aku?" tanyanya sengaja biar Raya membuncahkan segala kemarahannya pada Aga.
'Ray, kamu tahu ga? Kalau kamu marah kamu lucu banget makin manis malah' batinnya.
Untung saja dia hanya mengutarakannya dalam batin. Jika terucap dalam lisan bisa-bisa gadis itu menabok mulutnya.
"Ray, gue ada pesan buat elo malem ini," tutur Aga.
Gadis itu memutar bola matanya malas ke arah Aga.
"Tidak ada yang bisa merubah kamu kecuali diri kamu sendiri." Laki-laki tersenyum tipis dan berjalan meninggalkan Raya.
"Iya, gue juga ada pesan buat kamu, kepingan luka memang menyakitkan akan tetapi semua itu tak akan mudah terlihat orang lain apalagi disembuhkan sebab semua itu terpendam di lubuk hati seseorang.
Laki-laki memutarkan badannya ke arah Raya. "Semoga suatu saat aku bisa mengetahui kepingan luka yang kamu tertutupi ya, Ray." Laki-laki melambaikan tangannya ke arah Raya.
'Semoga ucapan elo bisa jadi nyata Ga dan elo ga kaget saat tahu yang sebenarnya terjadi' batinnya lalu menutup pintu rumahnya. Aga sudah kembali ke rumahannya. Kini tak ada lagi yang menemaninya, dia kembali sendiri di rumah sebesar ini.
Hanya kesepian yang menjadi teman setianya yang tak akan pernah meninggalkannya. Gadis itu masih teringat pesan Aga untuknya. "Tidak ada yang bisa merubah kamu kecuali diri kamu sendiri." Kata-kata itu terngiang-giang di kepalanya.
"Gue harap gue bisa merubah sikap negatif yang ada di dalam diri gue, Ga meskipun itu ga mudah." Monolog dirinya sendiri dan hanya terdengar suara nyanyian hewan malam yang menderu disetiap malamnya.
______________________________________
Haii semua gimana kabarnya?
Ini cerita sederhana dari hasil ideku. Semoga kalian suka. Mohon maaf kalau masih banyak salah maklum aku pemula.
KAMU SEDANG MEMBACA
Agaraya [END]
Teen Fiction"𝙺𝚒𝚝𝚊 𝚊𝚍𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚜𝚎𝚙𝚊𝚜𝚊𝚗𝚐 𝚒𝚗𝚜𝚊𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚞𝚔𝚒𝚛 𝚕𝚞𝚔𝚊 𝚍𝚒 𝚊𝚝𝚊𝚜 𝚍𝚞𝚔𝚊." ㅡ𝙰𝚐𝚊𝚜𝚊 𝙷𝚊𝚛𝚢𝚖𝚞𝚛𝚝𝚒ㅡ Aga dan Raya tidak salah hanya ingin saling menjaga justru berujung kesalahfahaman karena yang salah adala...