XIV. The Fox and The Dragon

447 27 9
                                    

It takes time for everything.

Isla mempercayai hal itu, bahkan dirinya yang sudah ia anggap paling berani pun mulai merasakan keraguan. Bukan, bukan tentang hubungannya dengan Mingi, tetapi dengan kehidupan selanjutnya yang akan ia jalani bersama pria itu. Ibunya dan keluarga Song sudah setuju akan pernikahan mereka, tapi semua kembali kepada keputusan Isla yang masih belum siap.

Mingi menunggu tentu saja.

Satu tahun dan Isla akhirnya lulus dari perguruan tinggi.
Dua tahun dan Isla akhirnya bekerja menjadi seorang business analyst (bukan di perusahan FoxesInc karena Isla menolak mentah-mentah walaupun Mingi sudah membujuk Isla setengah mati untuk bekerja di sana).
Dan ditahun ketiga, Isla mulai mempertanyakan perasaan yang mengganjal dihatinya.

Haruskah Mingi tetap menunggu?

"Menikah itu bukan sebuah kompetisi." Ujar Ibu ketika Isla meneleponnya pada suatu malam. "Kau harus siap secara fisik tapi yang lebih penting adalah siap secara mental."

"Apakah Ibu ragu ketika hendak menikah dengan Ayah?"

"Gugup? Pasti. Tapi ragu? Tidak sama sekali. Karena Ibu tahu ia adalah pria yang Ibu cintai."

"Seharusnya Mingi tidak menunggu selama ini. Ia bisa menikah dengan wanita lain." Isla memutar-mutar ujung sweater hijau mudanya.

"Tetapi ia memilih menunggumu dan seharusnya itu sudah menjadi cukup bukti bahwa Mingi setia dan mencintaimu."

Isla tertegun dan air matanya menggenang begitu saja. Baik dirinya dan Mingi tidak pernah menyinggung tentang pernikahan tetapi Isla tahu bahwa kekasihnya itu menunggu. Tanpa protes. Tanpa mendesak.

Jadi setelah mengakhiri pembicaraan di telepon bersama ibu, Isla cepat-cepat berlari keluar dari apartemennya dan memesan taksi. Di luar hujan tapi ia tidak peduli. Isla bahkan lupa berganti baju dan hanya mengenakan sweater serta celana pendek. Hujan menerpa tubuhnya ketika ia turun dari taksi dan berlari masuk ke dalam rumah pacarnya. Penjaga keamanan tak perlu menangkapnya karena sudah sangat hapal dengan wajah Isla yang sering menginap di sana.

"Isla? Apa yang kau lakukan di sini? Astaga, kau basah kuyup!" Mingi panik sekali saat melihat keadaan kekasihnya. "Masuklah dahulu, akan kuambilkan--"

"Mingi, I'm ready." Isla menghapus jejak-jejak air di pipinya, entah air mata atau air hujan yang bercampur jadi satu.

"A-apa?" Mingi tahu betul apa yang Isla maksud, tetapi ia tidak menyangka akan mendengar kalimat itu setelah penantian tiga tahun lamanya.

"Aku terus menunggu selama bertahun-tahun sampai aku siap tapi aku sadar bahwa di manapun dan kapanpun, asalkan bersamamu, aku siap."

Tak butuh waktu lama untuk Mingi memeluk kekasihnya dan Isla terpekik kecil. Pria itu melupakan fakta bahwa tubuh Isla masih basah kuyup sekarang.

"I love you, I love you." Mingi mengecupi pipi Isla berulang kali. Menyingkirkan poni basah kekasihnya agar dapat melihat wajah cantik yang tengah bersemu itu lebih jelas.

"I love you more."

Mereka berciuman dan Mingi bisa merasakan Isla menangis di tengah-tengah pagutannya. Mingi tahu itu adalah air mata bahagia, maka ia menggendong tubuh Isla sambil mengusap punggungnya perlahan. Menenangkannya. Dan ketika ciumannya terlepas, Mingi menambahkan satu kecupan ringan di dahi kekasihnya. Sesudah itu, Mingi membawa Isla ke dalam untuk mengeringkan tubuhnya dari air hujan.

"Kau melamun."

Isla tersentak dan kembali memfokuskan arah pandangnya pada Mingi.

"Maaf."

THE VICIOUS ONE // Song Mingi ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang