BAB 3 - Masa Lalu Yang Masih Menghantui

559 41 0
                                    

Hari kematian Abrata Baghwana William Edward

Malam itu, keluarga Abrata makan malam di halaman rumah mereka di pinggir pedesaan Nagrog yang mereka beri nama Singgahan. Seluruh anggota keluarga menikmati makan malam mereka. Sampai mereka tertawa terbahak-bahak, semuanya menikmati makan malam yang dimasak oleh juru masak keluarga Abrata. Malam semakin gelap Haniya membawa anak-anaknya masuk ke dalam kecuali ketiga anak lelakinya. Mereka adalah Abrata Arsyanendra, Abrata Bhalendra, dan Abrata Caiden.

Arsya yang pada saat itu telah memenuhi syarat untuk menduduki kursi pemerintahan diberikan petuah agar dia nantinya dapat melanjutkan posisi Edward di kepemimpina Ratu Isyana.

"Arsyanendra, kamu sudah seharusnya memiliki istri agar dapat menggantikan posisiku nantinya. Jangan menunggu adik-adikmu, karena kamu sudah seharusnya menjadi yang pertama." Edward berkata dengan lembut kepada Arsya.

"Baik, Papa. Dalam waktu dekat aku mungkin akan melamar Nona Achaari. Jika diizinkan aku akan menikah di Nagrog dan tinggal disini bersamanya," ujar Arsya meminta izin kepada Edward.

"Tentu saja kamu bisa menikah disini, Arsya. Kamu bisa tinggal di Nagrog jika kamu mau. Sepertinya, Singgahan memang harus ditinggali agar dia tidak dimakan waktu," balas Edward menyetujui. "Kamu bisa menetapkan tanggalnya dari sekarang, urus itu dengan ibumu, dia tahu segalanya tentang pernikahan." Edward terkekeh dan mendentingkan sendok ke piring Bhalendra yang sedang melamun.

"Dan kamu anak muda, apa yang akan kamu lakukan?"

Bhalendra tersentak dan berdeham pelan, "Eum, aku akan masuk ke angkatan laut, Papa." Ada sedikit ketakuta ketika dia harus mengatakan Angkatan Laut.

Tatapan Edward terheran. "Angkatan Laut? Aku pikir kamu mungkin ingin menjadi seorang penyair."

Bhalendra menggeleng, "Aku senang mengarungi lautan dengan bahtera, Papa. Semenjak Papa mengajakku ke pelabuhan, aku menjadi penasaran dengan apa yang ada diujung samudera. Dan bagaimana menjelajahi tempat yang belum pernah aku tuju sebelumnya, aku sangat ingin tahu."

"Bagus kalau begitu, kamu memiliki minat dengan tujuan yang jelas, Daftarkan dirimu, aku akan membantumu jika kamu membutuhkannya." Edward menyungging senyum dan kini tatapannya beralih kepada Caiden yang sudah duduk tegap di kursinya.

Edward tersenyum bangga dengan anak ketiganya, "Kamu telah menggiring opera dan mejadi maestro muda terbaik di Batavia. Aku rasa tidak ada yang mengganggu pikiranmu selain musik, Caiden?"

Caiden mengangguk setuju, "Benar, Papa. Aku sangat mencintai musik. Bolehkah aku memiliki tempatku sendiri di Senopati, Papa? Aku pikir akan lebih baik jika aku tidak menganggu tidur adik-adikku."

"Baiklah, silahkan cari tempatmu di Senopati. Bangunlah rumah di tanah kita dan kembangkan usaha pacuan kuda yang ada di sana. Kamu bisa menjadi sponsor di sana. Aku lihat akhir-akhir ini, pacuan kuda tengah sepi penonton. Sepertinya itu dipicu oleh tidak adanya pendanaan yang masuk ke kas mereka, dan para joki yang tidak dapat merawat kuda mereka dengan baik karena minimnya fasilitas." Edward mengingat perkataan temannya yang berbicara mengenai lahan pacuan kuda yang mulai sepi.

Bhalendra melihat cangkir kopi Edward yang mulai habis dan dia berinisiatif untuk megambilnya lagi alih memanggil pelayan untuk mereka. "Papa biarkan aku mengambil kopimu lagi."

"Silahkan, Bhalendra. Gulanya sedikit saja," ujar Edward memperingatkan dan dijawab dnegan anggukan Bhalendra yang manis.

"Baik, Papa. Akan aku lakukan sesuai perintahmu," jawab Caiden manut.

"Arsya," panggil Haniya dari teras rumah. "Tolong bacakan cerita kepada Eknath."

Arsya dengan patuh mendengar ibunya, "Papa, aku akan masuk ke dalam. Selamat malam," tutur Arsya memeluk Edward sebelum masuk ke dalam rumahnya.

Aroma Kencan Abrata - Tamat | Abrata Series #02Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang