***
Di balik tanah tandus nan kering itu, adakah kau membenciku?
Kau yang hanya bersisa kerangka; tak bernyawa dan mulai terlupakan.
Kuulangi lagi.
Adakah kau membenciku?
Ayah?
Kau (harus) meregang nyawa imbas kebodohan dan kedunguan anakmu sendiri. Seandainya putra sekaligus muridmu ini tak termakan keingintahuannya, kau mungkin masih menghirup udara yang sama dengan kami.
Kami.
Umat manusia.
Jasa dan dedikasimu pada pengetahuan sepertinya menurun padaku, bocah pirang bodoh ini. Aku mendedikasikan hatiku untuk sesuatu yang aku percaya. Kemenangan umat manusia; mengakhiri tirani para titan dan membebaskan perbudakan atas ideologi palsu yang dikarang dengan rapi.
Aku ingin meraihnya dengan tanganku. Kemenangan umat manusia. Bukan demi diriku, tapi demi dirimu juga. Inilah saat penebusanku untukmu.
Ayah.
Maukah kau memaafkanku?
Kau berharap agar aku menjadi malaikat, sosok mesias yang memberi harapan layaknya hangat sinar mentari. Namun, pahamkah engkau akan diriku yang sekarang? Diriku yang masih berdiri tegak di depan nisanmu yang kokoh ini hanyalah seorang iblis.
Iblis.
Aku memilih ini sedari awal, hingga kusadari tak ada jalan untuk kembali. Akulah sang iblis yang tertawa bengis melihat kekejaman yang terpelihara oleh warisan umat manusia. Akulah sang iblis yang membisikkan godaan yang menawarkan kenikmatan. Akulah sang iblis yang tak peduli akan dunia, terobsesi pada hal yang kuanggap mulia.
Maaf saja, tapi semua orang justru mencintaiku sebagai iblis. Mereka ingin aku memimpin, bergerak di depan dengan pedang penghancurku. Menuntun mereka semua pada keabadian api neraka yang menyala-nyala. Mereka menginginkanku seperti ini. Bukannya aku tak punya pilihan, tapi karena aku mulai bangga menjadi iblis.
Hahaha.
Kau pasti kecewa anakmu ternyata hanyalah sosiopat yang memakai seragam militer dan berpangkat komandan. Tidakkah itu lucu? Seorang sosiopat bertopeng iblis yang bermimpi menggenggam kemenangan umat manusia. Setidaknya aku tak menawarkanmu hal yang klise.
Aku bahkan dengan konyolnya sampai kehilangan lengan demi hal mulia yang kupercayai. Tentara cacat yang bersikeras bertarung hanya untuk kebenaran akan dunia kejam ini. Kau pasti ingin mengetahuinya juga, wahai ayahku? Begitupun dengan anak berlengan satumu ini.
Rubanah.
Aku pernah menceritakannya padamu, bukan? Kunci untuk terbukanya seluruh tirai yang menutupi mata kita semua. Aku hanya berharap semoga setelah kita membuka tirai itu, mata kita tak silau dengan cahaya kebenaran yang menusuk. Atau paling tidak cahaya itu tak membutakan mata kita sepenuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
White Lily - Erwin Smith (ONE SHOT)
FanfictionErwin Smith berdiri di depan makam ayahnya, mengungkapkan isi hati untuk terakhir kalinya. Permintaan maaf, kekecewaan, hingga kekhawatiran, Erwin curahkan segalanya sebagai ganti misi penebusan yang akan dia lakukan. Ketika sang iblis itu sendiri m...