Ketika Ibunya memutuskan menjual rumah yang mereka tempati sejak Prisha mungkin belum fasih bicara, Prisha tahu, dia sudah diusir.
Sebuah probabilitas yang sebetulnya sempat terbersit dari jauh-jauh waktu sih. Secara siapa memang yang tahan hidup bersama Tukang Bikin Onar dan em, orang-orang juga suka mengatainya sebagai Pembawa Sial sekaligus ... Pembunuh?
Ugh!
Ibunya mungkin sudah bosan. Memaki, menyumpahi, atau bahkan memukulinya nggak lagi terasa cukup.
So, membuang satu Biang Masalah yang nahasnya juga pengangguran seperti dirinya tentulah nggak ada ruginya.
Ibunya dapat merealisasikan soal 'putus hubungan' yang saban mereka bertemu muka tiada henti diungkitnya.
Yah.
Dengan meninggalkan satu koper besar milik Prisha di depan pagar rumah bertipe 36 yang di salah satu sudutnya tergantung papan bertuliskan 'Dijual' serta memutus semua kontak dan pergi entah ke mana, Prisha tahu bahwa dia sudah nggak termaafkan.
Di kondisi semacam itu biasanya dia bisa mengadu pada Paradikta. Kendati, nggak pernah menuntutnya untuk bercerita mengenai apa yang sesungguhnya terjadi, tapi dengan Pradikta duduk di sisi Prisha saja ternyata toh mampu membuat semua beban itu seolah ramai-ramai tergelincir dari pundaknya.
Paradikta dalam hidup Prisha betul-betul sudah layaknya mata air di tengah ladang gersang. Dia tak ubahnya keping terakhir dari bingkai puzzle yang mesti Prisha rampungkan. Bersama-sama dengan Paradikta. Cukup dengan hanya melihatnya saja, Prisha sudah merasa terbantu.
Sayangnya, tak seperti Prisha yang merasa utuh karenanya. Paradikta mungkin justru digerogoti rasa terbebani.
Dulu, Prisha nggak pernah memikirkannya. Setiap Paradikta menyambutnya dengan netranya yang bersinar—sangat berbeda dari pandangan yang kerap dilempar orang-orang terhadapnya—dia kira, dia memang masih seberarti itu.
Namun, siapa sih yang bisa akurat menduga?
Jika Ibu yang melahirkannya saja bisa merasa sebegitu terganggunya, apalagi Paradikta yang cuma orang luar kan?
Bertemu Saniya lantas menikahinya tentu adalah suatu jalan yang benar. Paradikta nggak perlu lagi terjebak untuk berurusan dengan seseorang seperti Prisha. Yang cuma dapat mempersembahkan masalah ke hadapannya.
Kemudian, Prisha sendiri ... dia hanya belum tahu harus bagimana?
Tanpa tujuan yang pasti, Prisha rasanya makin merasa kerdil saja.
Dia ... andai dia cukup berani, mungkin dia sudah melemparkan diri ke depan mobil-mobil yang deras melintas. Sayangnya, Prisha masih ingat kata-kata Ayahnya. Perkataan yang agaknya dikutipnya dari satu judul film atau ya entahlah.
Begini bunyinya:
"You are going to be okay. This pain you feel is going to pass. Maybe not this moment or today, or tomorrow, but sometime soon. The hurt will fade. Don't give up before things get better. You can and will heal, Sayang."
Suara Ayahnya yang berat selalu berulang menuturkannya sewaktu Prisha kecil pulang sambil bermandikan air mata. Dan, yang kian membuat Prisha percaya adalah kala tangan Ayah yang besar mendarat di kepalanya demi mengusap bagian itu dengan sayang.
Prisha ... ugh, bukankah ini akan jauh lebih mudah kalau ia ikut Ayahnya saja?
Namun bukannya akhirat, Prisha malah mendarat di salah satu daerah pelosok pedesaan di bagian ter-Timur kota Bogor.
Bagaimana bisa?
Salah satu kerabat Ayah menghubunginya. Prisha sebenarnya sedikit bingung. Tetapi, selembar kertas yang Ibunya tinggalkan dalam salah satu sudut saku kopernya mampu memberinya secercah gambar dan harapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Ada Air Mata
General FictionPrisha nyaris menghabiskan dua windu hidupnya untuk mencintai seorang saja pria. Terjabak friendzone sedari remaja, Prisha tidak pernah menyangka jika patah hatinya gara-gara Paradikta menikah dapat membuatnya hampir mati konyol. Dia baru saja bebas...