PART 1 - p.H.obia

2 0 0
                                    


Jantungnya berpacu dengan cepat saat beberapa cowok mendekatinya. Kakinya gemetar serta kedua pelipis mulai berkeringat. Aradhea, cewek yang menjabat sebagai penanggung jawab mata kuliah Etika Komunikasi, merasakan kepalanya semakin berat ketika teman-teman kelasnya mulai mengelilingi dirinya.

"Tahan, Ra. Lo bisa, pasti bisa," ujarnya dengan kesadaran yang tersisa.

"Ini perwakilan kelompok aja yang ambil nomor urut maju," suara cewek yang berada di samping Ara. Abel, sahabat Ara sejak semester 1. "Ra, lo pucat banget."

Suara Abel hanya terdengar sama-samar di telinga Ara yang saat ini tengah beursaha mengendalikan pikirannya. Pada akhirnya ia menyerah saat teman cowoknya benriat mengambil kertas undian di kotak yang ia pegang.

"Bel, sori. Gue nggak bisa," bisik Ara pada Abel. Secepat mungkin cewek itu berlari meninggalkan kelas dan berjalan dengan ketakutan.

Abel dan beberapa orang di sana terkejut melihat Ara menerobos kerumunan dengan wajah ketakutan.

"Ra, mau kemana?"

"Bagas macem-macem sama dia kali."

"Eh anjir! Gue baru mau ambil kertas, dianya udah kabur duluan!"

"Udah lupain sikap Ara tadi, kalian sekarang ambil no urutnya terus bikin list di grup," kata Abel menengahi keributan yang ada di kelas.

Cewek itu masih mengkhawatirkan keadaan Ara yang secara tiba-tiba pergi dari tanggung jawabnya. Ini bukan kali pertama ia melihat Ara kabur secara tiba-tiba. Sudah menjadi rahasia umum bagi angkatan mereka bahwa seorang Aradhea takut dengan kerumunan.

"Bel, apa yang lo lakuin tadi bukannya beresiko banget buat Ara?" tanya Gavi sambil memanikan kertas undian untuk kelompoknya. "Kita udah lama tau kondisi Ara dan temen angkatan sepakat buat bikin dia nyaman di kelas. Kenapa lo bikin dia tertekan kaya tadi?"

"Gav, gue lakuin ini buat kebaikan Ara. Gue nggak mau dia dikekang rasa takutnya terus-menerus," jawab Abel.

Cewek itu tahu bahwa tindakannya tadi bisa membawa dampak buruk bagi sahabatnya, Ara. Ia merencanakan hal ini dengan snagat baik dan tersusun rapi hingga Ara tidak mengetahui bahwa segala sesuatunya telah diatur. Dimulai dari ia berkoordinir bersama dosen mata kuliah Etika Komunikasi untuk membentuk kelompok presentasi dengan abntuan penanggung jawab yang tak lain adalah Ara. Setelahnya ia meminta koordinator kelas untuk mengusulkan pemilihan kelompok dengan cara undian dan melimpahkan semuanya kepada Ara.

Beberapa hari Ara mengeluh karena takut tidak bisa bertanggung jawab namun Abel seolah bersikap acuh terhadapnya. Dan hari ini benar terjadi, Ara belum mampu mengatasi ketakutannya.

"Bukan salah lo, Bel. Niat lo udah baik kok, gak mau bikin Ara dikenal sebagai pribadi ansos. Mungkin Ara butuh waktu buat adaptasi sama keramaian," bela Bagas yang sejak tadi masih duduk di samping Abel.

Gavi berdecih. "Ara emang bukan pribadi ansos, bro. Lo salah kalau ngartiin ketakutan dia dengan sikap ansos."

"Memang beda. Tapi terus-menerus dengan ketakutan kaya gitu bukannya nanti bakal jadi ansos juga?" sanggah Bagas, cowok itu tidak terima kalah debat dengan Gavi.

"Ansos kalau dia nggak berusaha berbaur dengan orang lain. Nyatanya, dia masih komunikasi dengan kita, kan?" tanya Gavi balik.

"Lo sering chatting sama dia, hm?" Bagas masih saja menanggapi debat dari Gavi.

Gavi berpkir sejenak sebelum mengangkat bahnuya acuh. "Sesekali kalau ada tugas gue bakal chat dia."

"Gue belum pernah tuh dichat sama dia duluan," ucap Bagas lagi.

@HALOSHITNEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang