Chapter 21 - Mengambil Risiko

8.8K 532 8
                                    

Srak!

Sebuah map berisi kertas dokumen dilemparkan sembarangan ke atas meja. Akibatnya banyak kertas berceceran di atas meja, bahkan masuk ke bawah meja. Melihat itu sontak kedua alis seorang wanita berkerut. Dia memandang ke arah pelaku yang justru balik memelototinya. Berikutnya, dia memperhatikan bibir yang dipoles lipstick berwarna merah menyala itu yang kini bergerak.

"Sudah kuberitahu berapa kali baru kamu paham, Nana?!" cecar wanita itu bertubi-tubi. "Proposal yang kamu serahkan ini 'sampah'!"

Nana Silviana, seorang staf HRD yang baru saja bekerja selama empat bulan di perusahaan. Kinerjanya memiliki penilaian yang bagus dari atasannya. Cekatan dan rajin. Dia juga sering mengusulkan ide-ide fresh buat improvement dalam perusahaan. Namun, sayang akhir-akhir ini dia menghadapi 'tembok'. Tembok itu tak lain adalah wanita yang sedang membuka mulut di hadapannya untuk mencela ini.

Diana Quinnesa.

"Maaf bu Diana, saya akan coba merevisinya kembali." Dengan kepala dingin, Nana bersikap tenang. Dia sedikit menundukkan kepala, menyampaikan niatnya untuk memperbaiki proposal yang katanya 'sampah' ini. Padahal, saat manajer Pram Setiabudi melihat kerangkanya, bolak-balik Nana dipuji terus. Pram tidak segan menyampaikan ketertarikan pada ide barunya. Dialah yang seharusnya melihat proposal ini.

Namun akhir-akhir ini, sepertinya Pram sengaja menaruh wewenang lebih pada Diana. Entah alasan di baliknya, Nana tidak dapat menebaknya. Selain itu, dia sudah curiga Pram sering tidak ada di ruang kantornya. Tidak ada yang menyadari kejanggalan ini karena sosok Diana seolah menutupi kejanggalan itu. Diana ditunjuk oleh Pram sebagai tangan kanannya. Dia jadi sering bertindak menggantikan Pram. Tidak ada yang berani menanyakan karena takut kena masalah. Lagipula karena posisi Pram yang cukup tinggi di perusahaan, mereka juga tidak berani macam-macam.

Diana merasa puas ketika melihat Nana menundukkan kepalanya seperti saat ini. Dia tentu saja tahu Pram menyukai proposal Nana. Tapi, melihat itu hatinya terbakar rasa cemburu. Dia hanya bisa melampiaskannya pada Nana. Dia ingin agar wanita itu tidak macam-macam. Apalagi berpikiran untuk mendekati Pram.

Paras manis, penampilan sopan dan rapi milik Nana sangat berbanding terbalik dengan Diana. Sebenarnya Diana menyadari diam-diam banyak karyawan yang membandingkan dirinya dengan Nana. Seorang supervisor seperti dirinya dibandingkan dengan seorang staf biasa?! Tentu saja, Diana tidak terima akan hal itu!

"Oke, kita lihat kamu bisa menyelesaikannya sampai jam pulang kantor hari ini atau tidak." Setelah mengatakan kalimat itu, Diana beranjak pergi.

Melihat sosok galak itu pergi menjauh, Nana menghembuskan napas pelan dari mulutnya. Perlahan, dia memungut satu per satu kertas yang berhamburan di lantai dan meja. Mengurutkannya sesuai halaman lalu memasang klip kertas dengan benar. Dia memasukkannya ke dalam map yang tadinya dilempar sembarangan itu.

Sesudah keluar dari ruangan meeting, Nana berjalan di koridor. Di sana dia berpapasan dengan salah satu manajer senior perusahaan. "Siang pak Budi," sapa Nana sopan. Dia memandang pria separuh baya di hadapannya ini dengan hormat.

"Siang," ucap Budi menyapa balik dengan sebuah senyum simpul. "Ini sudah jam makan siang. Kamu baru selesai meeting?" Lumrah baginya bertanya demikian karena dia melihat Nana keluar dari ruangan meeting.

"Kebetulan meetingnya sudah selesai sejak tadi. Saya baru selesai merapikan catatannya pak," jawab Nana sekenanya. Lagipula tidak mungkin baginya menceritakan dia baru saja dimarahi dan proposalnya dikatai 'sampah'.

Budi menganggukkan kepalanya. "Kalau begitu, bagaimana pengamatanmu terhadap kinerja karyawan akhir-akhir ini?" Pria setengah baya itu tiba-tiba mengalihkan topik ke pekerjaan Nana sebagai salah satu staf HRD.

Secret Behind Marriage (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang