16. Air Mata Shafa

124 12 0
                                    

“Loh, kamu ngapain pulang?”

Bu Fatma terkejut mendapati putranya di depan rumah. Tak hanya rambutnya yang basah. Arashya juga memeluk diri sendiri setelah berlari menerobos hujan menuju rumah sang ibu.

“Main saja, Bu,” jawabnya dengan bibir bergetar kedinginan.

“Kenapa tidak dengan istrimu?” Arashya diam tak berkutik.

“Segeralah masuk!” pinta Bu Fatma dengan nada dingin. Tanpa menatap netra wanita di depannya, Arashya menunduk dan berjalan masuk.

Setelah berganti pakaian, ia duduk di ruang tengah. Telah tersedia segelas teh manis yang masih mengepulkan asap.

“Bu, tidak seperti yang Ibu pikirkan.” Arashya mencoba menebak, bahwa sikap dingin ibunya adalah karena asumsi. Bisa saja wanita dengan gamis cokelat tua itu menyangka ia tengah bertengkar hebat dengan Shafa. Meski begitu, niat Arashya bukan melarikan diri dari masalah. Ia berniat memberikan sedikit ruang untuk Shafa berpikir, bahwa cemburu pun tidak selamanya menunjukkan cinta. Tetapi tidak percaya  terhadap pasangan.

“Ini yang Ibu takutkan ketika kamu menikah dengan wanita yang belum kamu cintai. Mudah sekali menyakiti.”

 “Arashya tidak menyakiti, Bu. Tapi—“

“Bagimu tidak, baginya iya!” sentak Bu Fatma. Arashya diam. Ibunya bukan orang yang mudah marah, sekalinya marah, itu tanda bahwa sikapnya sudah keterlaluan.

“Hati wanita itu lembut, mudah tersinggung. Kamu tidak usah membentak, tidak perlu marah. Ketika dia memang sedang sensitif, perkataanmu yang tak seberapa saja bisa menyinggungnya.” Bu Fatma memiringkan tubuh menghadap putranya.

“Pulanglah! Rumah ini bukan lagi tempatmu. Bicarakan baik-baik, cari solusi agar bisa memperbaiki hubungan dengannya.” Bu Fatma menyentuh lengan Arashya. “Kamu laki-laki, harus bisa bertanggung jawab.”

“Arashya capek, izin tidur semalam saja di sini. Besok pagi, Arashya janji akan kembali.”

Belum sempat Bu Fatma menahan, Arashya lebih dulu masuk ke kamar.

***

“Assalamu’alaikum,” lirih Arashya. Usai salat Subuh, ia kembali ke rumah sang istri. Tak lama menunggu, Afidah membukakan pintu untuknya.

“Bu,” sapa Arashya sembari menyalami tangan ibu mertuanya.

“Saya tidak tahu apa masalah yang sedang kalian hadapi hingga Shafa stres sampai mengeluh sakit kepala.”

Arashya segera berlari menuju sang istri mendengar pernyataan Afidah.

“Ya, Allah. Hamba tidak tahu apa yang harus dilakukan setelahnya.” Bahunya bergetar. Isak tangisnya pun terdengar memilukan. Arashya bersandar pada dinding. Tetesan air mata Shafa yang mungkin berjatuhan sejak malam membuatnya mengingat satu hadis.

”Jika seorang wanita menangis karena perbuatan seorang pria, maka para malaikat akan mengutuk setiap langkah kaki pria tersebut.”

 (Ali bin Abi Thalib).

“Air mata wanita sangat tinggi nilainya. Dia hanya akan menangis untuk pria yang disayangi dan dicintai. Jika wanita sampai menangis, itu tandanya dia sudah tidak bisa menahannya lagi. Selamanya, seorang wanita tidak akan dengan mudah menangis, kecuali di depan orang tersayang.” Seseorang menepuk pundak Arashya yang berdiri memperhatikan Shafa dari balik pintu.

“Bu ....”

“Jangan buat anakku menangis,” pesannya. Arashya terdiam lama, sampai orang tua istrinya yang mengatakan hal itu.

Perlahan tanpa ragu, Arashya berjalan dan memeluk Shafa erat dari belakang. Mengucapkan maaf berkali-kali untuk kesalahan yang ia perbuat dan berusaha tidak akan mengulangi.

“Mas, kepala Shafa sakit,” keluhnya. Arashya segera membantu melepas mukena dan merebahkannya di ranjang.

“Sakit semua?”

“Sebagian.”

“Migrain ini, Dik. Pasti karena kamu stres, juga karena kamu kurang istirahat semalam.” Shafa mengangguk. Lagi-lagi, Arashya mengucapkan maaf.

Arashya mematikan lampu, mengurangi cahaya agar kepala istrinya tidak semakin sakit. Ia bantu memijit pelipis. Setelahnya, ia pamit ke dapur mengambil kompres. Sementara itu, beberapa kali Shafa mencoba merelakskan otot.

“Tapi ini kamu enggak merasa pengin muntah, kan?” tanya lelaki yang tengah mencelupkan kain ke dalam air es.

“Pengin.”

Arashya meletakkan telapak tangannya ke perut sang istri.

“Kalau dielus-elus gini memang bisa sembuh?” Shafa tergelak. Arashya tersenyum haru, istrinya sudah mau tertawa.

“Kalau sampai siang nanti kepalanya masih pusing dan perutnya mual, Mas belikan obat. Sekarang istirahat, Mas mau keluar biar kamu tenang.”

“Temenin ....” Shafa merengek manja. Menarik ujung kemeja yang dipakai Arashya.

“Baiklah!”

***

Laiba istirahat di rumah. Tak seperti biasa bantu-bantu di rumah sang ustaz. Entah siapa yang memberikan info mengenai sosial media miliknya kepada Adnan—lelaki tampan yang ditemuinya kemarin. Meski pesannya tak ditanggapi apalagi sampai dibalas, lelaki itu terus saja mengirimnya pesan berisikan sebuah godaan.

“Saat pertama kali bertemu denganmu, aku seperti saktah. Berhenti sejenak tanpa mengambil napas.”

Laiba bergidik geli membaca pesan yang dikirim Adnan tersebut. Iseng, ia mengirim balasan.

[Kang Adnan ini enggak ada kerjaan ta? Siang-siang begini harusnya kerja malah main sosmed]

[Pekerjaanku hanya mencintaimu.] Dibubuhkan emoticon tertawa olehnya.

Ponsel Laiba kembali bergetar, rupanya Adnan mengirim foto selfi kepadanya. Refleks, tangan mungil itu menjauhkan benda persegi tersebut ketika wajah tampan yang masih asing di mata terpampang dengan begitu jelas.

Namun, tak ayal ia tetap memperhatikan mata tajam yang dibingkai alis tebal tersebut. Hidungnya besar, Laiba bahkan membandingkan dengan miliknya. Meski ekspresi lelaki itu menyebalkan. Laiba tak memungkiri bahwa Adnan tampan.

[Nah, kan! Pasti sedang memperhatikan wajahku makanya enggak balas lagi. Mau dengar suaraku juga?]

Bukannya terpesona, Laiba justru menghela napas. Sikap lelaki itu dengan Arashya hampir sama. Blak-blakan dan terlalu to the point. Aih, mengapa lagi-lagi Arashya ada dalam benaknya?

[Kang Adnan tahu cara ampuh melupakan seseorang?]

[Jika niatmu melupakanku, tentu tidak boleh. Tapi jika yang dimaksud selain aku, maka kamu harus jatuh cinta lagi. Dan harus kepadaku!!!]

Jawaban secepat kilat itu membuat seulas senyum terbit di bibir Laiba.

“Mbak!” Endang memanggil. Laiba meletakkan ponsel begitu saja.

“Daripada enggak ngapa-ngapain. Antar Ibu kondangan, ya.”

Laiba mengangguk. “Ibu tunggu sebentar, Laiba siap-siap dulu.”

***

LAIBA ARASHYA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang