"Dilema harus memilih salah satu dari orang yang berharga dalam kehidupannya ternyata lebih sulit daripada melakukan pertandingan basket secara langsung ataupun perang adu mulut dengan seseorang."
-Agaraya-
Waktu pembelajaran sudah selesai, semua murid SMA Demantara pulang ke rumahnya masing-masing. Rain dan Raya masih berada di kelas menunggu yang lain pulang. Menikmati suasana kelas yang mulai sepi. Memang sengaja mereka melakukan itu agar tidak desak-desakan saat pulang.
Sementara Aga sudah kembali ke rumahnya sudah sejak tadi pagi tak ada sepatah katapapun yang diucapkan oleh laki-laki itu kepada Raya begitupun sebaliknya.
Buat hari ini, Raya ingin fokus bersama dengan Rain saja. Untuk Aga mungkin dia ga bisa lagi ketemu diluar jam sekolah. Dia juga takut disaat membutuhkan laki-laki itu nanti tak ada yang menolongnya, bahkan kedua orangtuanya pun tak tahu mengena soal apa yang telah dialaminya.
Bagi orangtuanya pekerjaan adalah prioritas mereka, sementara Raya? Hanyalah sekedar pemain tambahan dikehidupan yang dijalaninya susah payah penuh dengan kepalsuan dan kepasrahan.
Memang aneh, waktu dia sangat membenci laki-laki itu justru Rain malah menyemangati untuk menerima dengan ikhlas apa yang terjadi.
Berbanding terbalik dengan sekarang yang dialami saat ini, disaat dia sudah belajar untuk tidak membenci laki-laki itu bahkan sedikit terbuka, hanya menyisakan sedikit kebencian karena memang belum sepenuhnya permanen.
Sebab menghapus sesuatu hal entah itu perasaan, luka, ataupun rasa sakit sekuat apapun bersikukuh menghilangkannya dari kehidupan pasti akan ada bekasnya. Layaknya menancapkan paku di pohon, saat dicabut masih ada bekasnya walaupun sedikit.
"Ren, ntar malem habis isya elo mau ga main ke rumah gue?" ajak Raya mengangkat dagunya menatap sahabatnya.
"Bisalah, tapi gue izin ke ortu dulu," balasnya lalu menelpon nomor mamanya.
Raya hanya mengangguk kepalanya sambil menunggu izin dari orangtua sahabatnya.
"Assalamu'alaikum Ma," tutur Rain.
"Waalaikumsalam," balas mamanya dari seberang sana.
"Ma, ntar malem, boleh ga? Rain izin main ke rumah Raya habis isya?" tanyanya dengan harapan mamanya mengizinkannya.
"Boleh sayang, Raya sahabat kamu, kan? Tapi pulang jangan malem-malem ya," balas mamanya.
"Iya, siap Ma, makasih Ma. Teleponnya Rian tutup dulu. Dadah mama." Wajah Rain sumringah sekali berhasil mendapatkan izin mamanya.
"Daday sayang."
Rain mematikan teleponnya sepihak.
"Alhamdulillah diizinin, Ray." Saking bahagianya Rain meloncat kecil layaknya seorang anak kecil yang diberi permen.
"Iya-iya Ren, hayuk kita pulang," ajaknya yang hanya dibalas anggukan kepala sahabatnya.
"Ray, menurutku elo, Aga mau nerima gue gak, Ya?" tanya Rain dipenuhi harapan yang entah itu akan pupus atau bisa terkabul.
"Ntahlah Ren, kalau diterima alhamdulillah, kalau sebaliknya mungkin Allah pengen ngasih yang lebih dari dari dia."
Raya menepuk pundak sahabatnya untuk menenangkan gadis itu. Walaupun sebenarnya dia sudah tahu Aga ingin lebih dekat dengannya dan sudah berjanji untuk menjaganya.
Ketidaktegaan atas perasaan sahabatnya terpaksa menyuruhnya menyembunyikan sebuah kebenaran yang terasa sangat pahit. Niatnya juga menciut takut sahabatnya salah faham dan pada akhirnya menjauhi hanya karena laki-laki.
Berada di keaadaan yang menyulitkan ini lebih sulit daripada adu mulut dengan Bintang ataupun bermain basket. Sudah beberapa hari makhluk yang menggangu ketenangannya sudah tak lagi menampakkan diri.
Ada satu hal yang terbersit di kepala. "Ternyata memilih secara langsung di dalam realita itu lebih mudah daripada memilih dengan perasaan yang tak terlihat oleh atma."
Baginya persahabatan lebih penting daripada perasaannya lagipula belum tentu Aga memang sungguh-sungguh memberikan rahsa untuknya. Bisa saja itu hanyalah ucapan manis yang akan berakhir pahit seperti masa lalunya.
Cukuplah dulu dirinya bodoh bisa mempercayainya, dia tak mau lagi mengulanginya lagi dan masuk ke lubang yang sama.
Dia sudah haus kasih sayang kedua orangtuanya, dan tak mau kehilangan sahabatnya. Sebisa mungkin mementingkan kebahagiaan sahabatnya sebelum kebahagiaan meski tak mudah dia yakin semua akan baik-baik saja.
"Iya sih, Ray. Tapi harapan gue yang pasti dia mau nrima gue karena cinta bertepuk sebelah tangan itu rasanya sakit Ray," kata Rain sambil berjalan menuruni tangga.
"Pasti Ren, semua mah ga mau ngalamin itu. Tapi tergantung takdir mubram kita. Kalau dia jodoh elo pasti disatukan meski banyak halang rintangan." Gadis itu meringis bisa-bisanya mengungkapkan kata-kata yang kenyataannya dia sudah diberi Aga kalau laki-laki itu hanya ingin dekat dengan dirinya bukan sahabatnya.
'Andai elo tahu, Ren kalau Aga sebenarnya ada rasa sama gue' batin Raya.
Entah mengapa Raya harus terjebak dalam situasi yang amat menyulitkan, harus memilih antara sahabat lama atau seseorang yang ingin selalu ada buatnya.
Disatu dia bahagia karena setidaknya sekarang ada yang menemaninya jikalau dibutuhkan tanpa ada pamrih, disisi lain harus menjaga perasaan sahabatnya. Haruskah dia memilih?
Jikalau memilih salah satu dari mereka pasti yang lain juga ada yang tersakiti. Tidak bisakah dia keluar dari dilema ini?
Menjalani hidup bersama dengan Rain dan Aga penuh kedamaian tanpa ada rasa cemburu ataupun merasa gak enakan?
Tak terasa mereka sudah sampai di depan tempat parkir sepeda motor.
"Ray, gue balik dulu ya. Sampai jumpa nanti malam." Rain melambaikan salah satu tangannya ke arah Raya.
Raya pun membalas lambaian tangan gadis itu dan menyunggingkan senyumannya.
Andai saja dia bisa jujur kepada Rain, mungkin sekarang dia tak akan mengalami dilema yang sangat menguras isi pikirannya. Di kepalanya terngiang-giang kata-kata yang membuatnya ambigu.
Gadis itu mengambil Hpnya di rok lalu membuka aplikasi WhatsApp.
Raya : Assalamu'alaikum Aga. Maaf mulai sekarang gue ga bisa ketemu elo kalau malam/habis sekolah soalnya ada sesuatu hal yang membuat gue harus berbuat gitu. Gue harap elo bisa melakukan itu.
Send
Gadis tersenyum kecut membaca chat yang dia ketik. Seakan itu mudah baginya.
Dia mengenakan helm kemudian menancapkan gas di motornya dengan kecepatan tinggi. Entah sampai kapan dia harus begitu terus. Lama-kelamaan juga capek tapi gapapa lah dengan begitu sedikit membuatnya tenang karena hembusan angin mendayu-dayu meredam kegelisahannya.
Malam hari telah tiba tepat pukul 08.30, gadis itu menunggu sahabatnya datang.
Sambil menunggu dirinya membuka WhatsApp dan melihat chat balasan dari seseorang.
Aga : Ya udah Ray, kalau itu mau kamu. Tapi alasan apa ngelakuin itu?
Raya membisu dan belum bisa membalas apa diketikan laki-laki itu dalam chat membuat dia seakan tersayat oleh kata-katanya sendiri.
Dia mengambil napas sejenak lalu membalas chat dari Aga.
Raya : gapapa, mungkin ini yang terbaik bagi elo dan semuanya biar ga ada yang tersakiti.
Gadis meringis hatinya terasa sangat sakit. Sudah banyak luka menganga yang terselubung dalam hatinya. Haruskah dia menghadapi hal yang lebih parah lagi?
______________________________________
Haii semua gimana kabarnya?
Ini cerita sederhana dari hasil ideku. Semoga kalian suka. Mohon maaf kalau masih banyak salah maklum aku pemula.
KAMU SEDANG MEMBACA
Agaraya [END]
Teen Fiction"𝙺𝚒𝚝𝚊 𝚊𝚍𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚜𝚎𝚙𝚊𝚜𝚊𝚗𝚐 𝚒𝚗𝚜𝚊𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚞𝚔𝚒𝚛 𝚕𝚞𝚔𝚊 𝚍𝚒 𝚊𝚝𝚊𝚜 𝚍𝚞𝚔𝚊." ㅡ𝙰𝚐𝚊𝚜𝚊 𝙷𝚊𝚛𝚢𝚖𝚞𝚛𝚝𝚒ㅡ Aga dan Raya tidak salah hanya ingin saling menjaga justru berujung kesalahfahaman karena yang salah adala...