Kepenatan kini mencengkeram raga mereka, saat istirahat di barak, Runi pun meluncurkan pertanyaan pada Revan.
Ia temu lutut di sebuah kursi di dekat Revan terbaring. Gerakan pelan lemparan pandangannya ke arah Revan tepat di kanannya, bibirnya mulai bergerak melahirkan suara.
"Van, ngomong-ngomong Irfan itu saudaramu ya?"
"Iya, kami saudara sepupu, Ayah Irfan adalah kakak kandung ibuku."
"Jadi Irfan kakak sepupumu?"
"Iya, emang kenapa?"
"Emang umur kalian selisih berapa?"
"Selisih beberapa bulan saja, tahunnya sama kok."
"Iyakah? Dulu, aku pernah seatap sekolah dengan abangmu itu, ia sering menolongku dalam berbagai hal."
"Iyakah? Kayak menyontek gitu?"
"Tidak! Secarakan aku pintar, mana mungkin hobi menyontek."
"Abangku bantu dalam hal materi?"
"Ah, kamu kepo bangetz!" Ucapnya seraya tersenyum.
Suara dering ponsel Runi kerap merengek untuk diangkat, nama Irfan merias di layar ponsel sentuhnya.
"Selamat siang, Saudara?"
"Siang, maaf ya baru sempat transfer uang kamu," desisnya.
"Kok bisa tahu nomor rekeningku?"
"Kamu lupa ya? Dulu kamu kan juga sering pinjamin aku duit, jadi aku masih simpan nomor rekeningmu."
"Pantesan ada SMS banking masuk," celutuknya.
"Runi, terima kasih udah kasih kepercayaan sama aku ya."
"Maksudnya bagaimana? Kamu tambah bikin aku bingung."
"Begini, Runi. Meminjam uang sama teman itu tidak gampang, bahkan sanak keluarga pun bisa saja menolak untuk meminjamkan, apalagi jumlah nominal yang sering kamu pinjamkan ke aku tidaklah sedikit. Terkadang masalah uang menciptakan sebuah konflik lantaran sebagian orang berpikir uang itu segalanya, tapi kamu beda, setiap kamu membantu orang tampak sangat ikhlas. Mudah-mudahan kelak bisa kubalas kebaikanmu!".
"Enggak usah dipikirkan!"
Irfan pun mengakhiri panggilan dengan nada rasa bangga memiliki teman seperti Runi.
***
Di barak ketiga abdi negara itu sedang asyik bercanda, suara kikikan Revan terdengar lengking, Runi dan Yudha pun juga hanyut dalam suasana itu.
"Hai, Runi, kamu habis terima telepon dari pacarmu ya, mukanya serius amat saat menelepon?"
Seketika mata Runi melotot, aliran ingatannya begitu deras mendobrak memoriam. Seorang wanita cantik berjas putih langsung mencumbui kornea matanya.
Hatinya bergemuruh, meronta-ronta, batinnya seakan merengek meminta pertemuan.
Beberapa hari ini mereka sudah tak ada lagi kontekan lantaran kesibukan profesi mereka yang terlalu padat.
"Woi, kamu kok melamun?" Tanya Revan seraya melebarkan telapak tangannya berjoget dua arah di depan matanya, seketika lamunannya dibuyarkan berpuing-puing tidak terpungut.
"Are you ok?"
"Of course."
"Apa yang sedang kamu pikirkan?"
Matanya pun sedang sibuk mondar-mandir entah mau ke arah mana.
Sebuah benda persegi panjang dirogohnya dari dalam saku. Jemari telunjuknya mengetuknya tiga kali hingga wallpaper nya tertampak fotonya yang gagah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senapan Yang Penuh Keajaiban (Tamat)
Teen FictionPemilik nama lengkap dr. Meisya Glavita Kirana jatuh hati pada seorang prajurit bernama Runi Andrianto Pratama. Perkenalan dimulai saat sang pratu menolong seorang di jalan yang hendak melahirkan, hingga ia segera membawa wanita itu ke rumah sakit t...