#CHPG
#gunungciremai
Ditulis oleh : Aras AnggoroSetelah nafasku berangsur normal, kucoba memberanikan diri mendekati pondokan kayu itu. Angin dingin bertiup dari belakang membekukan nyaliku. Tumbuhan paku yang menggantung di atap bangunan itu ikut bergoyang pelan. Anginkah?
Semakin dekat, perutku terasa semakin melilit. Dengan tangan gemetar kuarahkan nyala senter ke setiap pojokan. Walau tak ada apa pun, nafasku masih tertahan.
Kuraba bungkusan pemberian bapak tadi di kantong celanaku sambil mengingat-ingat perintahnya. Intinya aku harus menyebarkan isi bungkusan ini di belakang pondokan. Sekarang baru aku mengutuki kebodohanku, kenapa tak sempat menanyakan alasannya. Aku menimbang-nimbang, kira-kira apa yang akan terjadi kalau aku tak melakukan perintahnya? Akankah terjadi sesuatu? Dan mengapa harus menyebarkan isi bungkusan ini di belakang pondokan? Aku bergidik membayangkan harus berjingkat-jingkat ke belakang hanya untuk melaksanakan ritual entah apa. Jika isinya kusebarkan di depan sini kuyakin bapak itu juga tak akan tahu, pikirku.
Perlahan kukeluarkan bungkusan kain berwarna putih kusam itu. Aku langsung bergidik, warnanya mengingatkanku pada kain kafan. Kutuang isinya yang hanya berupa tanah merah di tanganku. Sedetik dua detik berlalu, kubiarkan pikiran-pikiranku bertempur di kepala hingga mereka lelah.
Kupejamkan mataku, ego dan emosiku yang labil, juga tindakanku yang selalu menggampangkan sesuatu yang sesungguhnya menyeretku pada situasi ini. Aku sungguh-sungguh menyadarinya. Aku tak boleh begini terus. Kutatap sekali lagi segenggam tanah merah di tanganku. Kutarik nafas dalam, keputusanku sudah bulat, lalu mulai kulangkahkan kakiku menuju kegelapan di belakang bangunan ini.
Kabut tersibak saat aku bergerak, angin yang sejak tadi meniup-niup wajahku mendadak hilang. Tanganku yang menggenggam tanah mulai gemetar sementara tenggorokanku terasa kering. Tak mungkin bapak itu menyuruhku melakukan sesuatu yang sia-sia, tak mungkin tak ada apa pun disana. Gambaran makhluk-makhluk menyeramkan beragam bentuk berkelebat di kepalaku.
Lakukan saja dengan cepat, pikirku.
Dengan detak jantung yang berpacu kencang dan tangan yang gemetar hebat kulemparkan tanah merah itu dengan cepat. Aku langsung menjerit ketika mendadak angin kencang tiba-tiba berhembus. Jeritanku makin menjadi saat tatapanku tertumbuk pada sesuatu yang tengah berdiri di bawah pohon di antara semak. Lututku tak mampu lagi menopang tubuhku, namun mataku masih membelalak melihat penampakan di depanku.
"Jangan teriak-teriak! Berisik!" bentak bayangan hitam itu. Asap bergelung-gelung keluar dari mulutnya. Aku menatapnya dengan ketakutan.
Aku terpaku tak dapat bergerak. Bayangan itu masih di sana, sama sekali tak menghilang. Bara api terlihat di tangan kanannya. Aku terkesiap menyadari bara itu adalah sebatang rokok.
"Udahan paniknya?"
Aku tertegun menyadari betapa biasanya suara itu. Manusia? Di tengah hutan begini?
Saat kuberanikan mengarahkan sorot lampu kepalaku padanya, terlihat sesosok laki-laki biasa, dengan pakaian biasa dan rokok yang tinggal setengah di tangannya. Ekspresi wajahnya terlihat gusar kala memandangku."BB..bbang..," lidahku kelu dan bibirku tak mau berhenti gemetar.
"Istighfar! Jangan gelagapan kayak begitu!" Suaranya terdengar sinis.
Seperti tersihir, kulakukan apa yang diperintahkannya: selama beberapa menit lantunan istighfar tak terputus dari lidahku, dan selama itu dia menatapku dengan pandangan yang terlihat sebal.
Perlahan ketenanganku kembali walau lututku masih terus gemetar. Yang kuperiksa paling awal adalah kakinya. Sepatu yang ia kenakan terlihat kusam tapi menjejak dengan sempurna ke tanah. Orang ini benar-benar manusia! Lalu mulai terlihat olehku matras, alat masak juga ransel yang menyender di tiang kayu. Jika tak ditahan malu ingin rasanya aku sujud syukur saat ini juga. Ternyata aku tak sendirian di belantara Ciremai!
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerita Horor Nyata
HorrorBerisi kisah-kisah nyata para pendaki dan kisah horor lainnya