Part 10

68 6 0
                                    

#CHPG
#gunungciremai
Ditulis oleh : Aras Anggoro

Perempuan-perempuan bergaun putih kusam itu terus muncul dimana-mana, namun ada sesuatu yang kusadari, mereka tak pernah mendekat atau coba mencekikku seperti yang sering kutonton di film-film lama. Gangguannya hanya sebatas muncul lalu menghilang ditambah suara-suara tangis dan tawanya. Aku bertanya-tanya sendiri, apakah memang mereka seperti itu atau karena kehadiran orang ini yang menahan mereka untuk mencabik-cabikku.

Dari belakang kupandangi orang itu yang sedang menyambung lagi rokoknya. Siapa orang ini sebenarnya?  Tapi mengingat cara bicaranya yang menyebalkan membuatku malas untuk bertanya.

Asap rokok yang baru dibakarnya mengepul sebentar di udara lalu hilang. Dia kembali melangkah dengan ringan, melompat-lompat dari undakan ke undakan yang lain. Sementara aku di belakangnya harus mengeluarkan seluruh tenaga hanya untuk melangkah satu kali saja di tanjakan sialan ini. Orang itu berhenti di bawah sebuah pohon yang berdiri di tengah jalur, memandangiku yang belum juga bergerak. Ulu hatiku terasa nyeri, otot betis dan pahaku berdenyut-denyut, nafasku tinggal satu dua dan mataku mulai berkunang-kunang. Aku cuma ingin istirahat sebentar.

"Cape, ya?" Suara orang itu terdengar dari atas jalur.

Tak hanya hidung, bahkan mulut pun ikut membantuku mengambil dan membuang nafas. Aku terlalu lelah untuk menjawab pertanyaan tak pentingnya itu.

"Mau istirahat dulu, Nyonya? Mau makan apa untuk malam ini, steak? Segelas jenewer untuk cuci mulutnya, lalu kita bisa duduk-duduk di tikar sambil melihat pemandangan. Perlukah saya memijit kaki Nyonya?"

Aku ternganga mendengar sindiran-sindirannya, sebenarnya apa masalah orang ini denganku? Kalau memang tak suka, tidak perlu ikut, mudah sekali. Andai aku masih punya tenaga untuk membalas setiap ejekannya.

"Atau perlukah kita hentikan pikniknya malam ini, pulang lalu tidur. Jika bisa bangun cepat mungkin masih ada waktu untuk menghadiri pemakaman teman Nyonya besok pagi.."

Aku tersentak teringat Adi yang sedang tenang terlelap saat tadi kutinggalkan. Kata-kata orang ini memang menyebalkan, tapi dia benar, aku tak sedang piknik. Dengan mengerahkan sisa tenaga, aku kembali melangkah.

Aku menatap dengan kecut pada jalur yang menanjak tajam dan berliku-liku di depanku. Aku tahu, di balik setiap tanjakan itu bukanlah tanah datar melainkan tanjakan yang lebih tinggi lagi. Pikiran-pikiran ini hanya membuatku bertambah lelah.

Orang itu terus berjalan jauh mendahuluiku namun tak pernah sekali pun hilang dari pandangan. Nafasku semakin turun naik. Cairan pahit terasa di ujung tenggoranku. Aku ingin muntah.

Sambil beristirahat untuk menenangkan detak jantungku yang tak karuan, kuperhatikan sebuah perubahan. Tempatku menapak saat ini bukanlah tanah merah melainkan akar pohon yang melintang di tanah. Seluruh tanjakan ini sesungguhnya tercipta dari akar yang saling berpilin menciptakan jalan. Pohon-pohon pemilik akar ini bertebaran di sekitarku, mengepungku pada setiap sisi, tampak tua dengan selimut lumut di batangnya. Aku menelan ludah kala menyadari tempatku berdiri saat ini.

Tanjakan Seruni!

Keheningan langsung membekapku. Kabut tipis ini mengaburkan pandanganku pada sekitar. Orang itu hanya terlihat siluetnya di atas sana.

Aku baru saja hendak mulai melangkah saat harum melati menyeruak. Jantungku yang baru saja tenang kembali dipaksa berpacu dengan cepat. Kemudian sudut mataku menangkap sesuatu yang tengah bergerak ke arahku. Aku tak tahu apa itu karena tertutup oleh selubung kabut ini, tapi sesuatu itu bergerak dengan tenang dan tak terburu-buru.

Semak-semak bergerak kala sesuatu itu mendekat. Harum bunga melati kian terasa pekat hingga membuatku mual. Dengan mata tak berkedip aku terus menatap lekat sesuatu itu, mengantisipasi untuk bersiap jika dia bergerak dengan mendadak. Perlahan sosoknya mulai kelihatan, itu adalah seorang perempuan.

Kumpulan Cerita Horor NyataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang