Part 11

64 10 0
                                    

#CHPG
#gunungciremai
Ditulis oleh : Aras Anggoro

Punggung terakhir orang-orang itu lenyap di telan kabut, begitu pun jenazah Adi. Aku langsung ambruk ke tanah. Dadaku terasa sesak dan sakit. Sudah tak kupedulikan lagi nyeri di perutku, segala sakit di tubuhku, aku sudah tak peduli apa pun. Semua ini tiba-tiba menjadi terasa sia-sia.

Orang itu berdiri di depanku, rokok terselip di bibirnya. Kupejamkan mataku yang tak mau berhenti mengeluarkan air mata, bersiap untuk mendengar caci makinya, sindirannya atau bahkan ledakan amarahnya. Aku sudah siap.

"Inget omongan gua tadi di bawah?" Suara orang itu terdengar lembut tak seperti biasanya. Aku membuka mataku dan melihatnya tengah menghisap dalam rokoknya.

"Setan akan terus mengganggu dengan beragam cara. Kalau hanya penampakan nggak mempan, mereka akan merubah strategi. Menipu, memfitnah, menjatuhkan iman, menghancurkan mental," sambungnya lagi.

"Adi, Bang.." ucapku diantara isak tangis.

"Tujuan lu udah deket. Mereka ngga nyangka kalo lu ternyata lumayan juga, ngga mempan dengan cuma sekedar penampakan," jawabnya masih dengan nada lembut yang sama.

"Jadi, keranda Adi tadi?" Suaraku bergetar dipenuhi harapan.

"Terus lu percaya?" tanyanya dengan santai. Orang itu kembali menghisap dalam rokoknya sebelum dia kembali menambahkan, "Jangan pernah percaya pada setiap tipu daya setan."

Aku menangkap dengan jelas maksud ucapannya. Beban berat seakan lepas begitu saja dari tubuhku. Aku sungguh-sungguh bersyukur orang ini ada bersamaku saat ini.

"Udah nangisnya, berdiri! Ayo jalan lagi," ucap orang itu, nada ketusnya sudah kembali. Entah mengapa aku merasa gembira mendengar nada itu kali ini.

***

Semangatku boleh kembali, namun staminaku kembali ambruk di tengah Tanjakan Bapa Tere. Tubuhku bersimbah peluh, tangan dan kakiku gemetar. Beberapa kali aku terpeleset dari pijakan, entah bagaimana nasibku andai tak sempat berpegangan pada akar. Tak hanya fisik, mentalku pun semakin ciut akibat terus diteror geraman-geraman rendah dan nafas berat harimau di balik selubung kabut.

Jika aku selamat dari sini, aku percaya tubuhku pasti akan tumbang berhari-hari. Di ketinggian ini semua jadi serba salah, istirahat sebentar tubuhku langsung membeku dibekap hawa dingin, jika bergerak seluruh sendi di tubuhku berteriak. Tapi tak ada jalan lain, aku memang harus terus bergerak.

Dengan sisa tenaga yang ada dengan susah payah akhirnya aku mampu mencapai ujung tanjakan. Paru-paruku serasa terbakar. Orang itu tak bergerak seperti yang biasa dia lakukan jika aku sudah mendekat, mungkin memberiku waktu untuk memulihkan staminaku yang sudah di ujung tanduk.

Dengan nafas megap-megap kubaringkan tubuhku di tanah. Kilasan peristiwa sejak kemarin berputar kembali dalam benakku. Mengapa aku melakukan perbuatan sebodoh itu kemarin? Kenapa harus Adi yang menerima imbasnya? Kenapa bukan aku saja? Jika terjadi sesuatu pada Adi aku tak akan bisa memaafkan diriku sendiri.

Kulirik orang itu yang sedang duduk di sebuah batu, masih dengan rokok di tangannya.

Lalu orang ini, muncul di tempat dan waktu yang sangat tepat. Siapa orang ini sebenarnya? Kenapa dia mau menolong orang menyebalkan sepertiku? Dan diriku sendiri, yang lebih baik menahan pipis hingga pagi dari pada harus ke kamar mandi jam dua pagi, sekarang tiba-tiba harus masuk ke perut Gunung Ciremai seorang diri. Aku sendiri sukar memahami. Adi pasti tak akan percaya saat aku menceritakan ini besok.

"Bang.."

"Apa?" jawabnya cepat tanpa melihat padaku. Angin dingin mengalir lembut mengelus pipiku ketika aku bingung bagaimana untuk merangkai kata.

"Maafin gua, Bang. Semua karena gua.." Aku tak mampu melanjutkan kalimat yang sudah susah payah kurangkai dalam kepala, air mataku keburu tumpah.

"Akhirnya.." ucap orang itu pendek saja.

"Gua khilaf kemarin, Bang. Sama sekali bukan kesengajaan," ucapku lagi, berusaha menjelaskan mengapa aku melakukan perbuatan bodoh itu.

Orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya, masih tanpa melihat padaku dia berkata, "Bukan. Perbuatan lu kemarin itu cuma akibat. Penyebab utamanya udah bersama lu bertahun-tahun."

"Apa, Bang?" tanyaku tak mengerti.

"Kesombongan lu," jawabnya.

Aku mengangguk pelan dan mengamini ucapannya. Aku kenal diriku sendiri.

"Manusia itu makhluk yang diciptakan paling sempurna, paling mulia. Tapi kemuliaan kalian itu nggak lantas menjadikan kalian berhak sombong terhadap makhluk lainnya," ucapnya dengan datar, "kesombongan sudah banyak menjatuhkan manusia-manusia paling besar, paling kaya, paling beriman. Kesombongan membuat mereka lebih arogan, sok berkuasa, bertindak semaunya, sama sekali nggak sadar kehancuran sudah mendekat di balik punggung. Apa lagi kita yang bukan siapa-siapa? Kita ngga pernah berhak untuk sombong."

Aku terdiam menyimak kata-katanya. Betul, aku memang terlalu sombong selama ini.

"Manusia, kalian semua terlalu sombong. Sebenarnya apa yang kalian cari.." gumamnya pelan, entah ditujukan pada siapa kata-kata itu. Aku mengikuti arah pandangnya ke bawah sana, jantungku langsung tercekat.

Tepat di bawah tanjakan ini terlihat beberapa orang berpakaian compang-camping tengah berlutut. Mimik ketakutan dan putus asa terlihat di wajah mereka. Aku bahkan seakan mampu merasakan gemuruh di dada mereka. Lalu dari balik kabut mendadak muncul seseorang tentara Jepang, pedang di tangan kanan, dan tanpa aba-aba langsung memenggal kepala orang-orang itu satu persatu. Aku memekik ketakutan melihat adegan mengerikan itu. Namun orang itu tak bereaksi apa pun, dia hanya menatap itu dalam diam.

Tubuh tanpa kepala itu tumbang, lalu menghilang. Bagai pemutaran film, adegan berganti dengan kengerian yang lain, kekerasan manusia atas manusia lain, kesakitan, juga kematian. Gambar-gambar itu tumpang tindih menampilkan kejadian di tempat yang sama namun dari berbagai masa yang berbeda.

Semua darah dan air mata itu hilang dalam sekejap, keheningan dan kabut kembali mengisi setiap sudut. Bapa Tere kembali pada keadaanya semula. Orang itu menggamit lenganku. Sudah waktunya bergerak.

Aku berjalan dalam diam, pemandangan mengerikan tadi membuatku tertekan, dan aku terlalu takut untuk bertanya apakah semua kejadian itu nyata.

Aku mengedarkan pandang, hutan dan setiap penghuninya selama ini mungkin telah menjadi saksi kebengisan dan ego-ego manusia.

Tiba-tiba angin mendadak hilang, begitu pun suara-suara serangga malam. Kengerian kembali mencekam benakku. Keringat dingin menetes dari dahiku. Aku tahu perasaan ini, ada sesuatu yang sedang mendekat!

Aku mencari-cari ke segala arah dengan panik. Bibirku gemetar dan jantungku mulai keras berdetak. Aku makin panik saat menyadari tak satu doa pun yang mampu kuingat.

Orang itu berbalik dan memberiku aba-aba agar diam tak bergerak. Aku tak percaya melihat ada sedikit rona ketakutan di wajahnya. Dia yang biasanya tenang! Aku makin dicekam kengerian!

Lalu telingaku seakan menangkap sesuatu. Samar terdengar sebuah alunan, merayap pelan dari kesunyian. Lututku gemetar. Suara itu kian mendekat dan mendekat! Aura wingit mengambang di udara. Ini adalah suara gending gamelan Jawa!

Tenggorokanku kering, namun Kupaksakan bersuara untuk meredam ketakutanku.

"Bang, Seruni??" tanyaku dengan suara bergetar. Wajahku sudah sepucat orang mati.

Dia menggeleng, namun bibirnya juga terlihat sedikit gemetar saat menjawab pertanyaanku.

"Nyi Linggi."

BERSAMBUNG

Kumpulan Cerita Horor NyataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang