#CHPG
#gunungciremai
Ditulis oleh : Aras AnggoroDi tengah kengerian mendadak ini, yang mampu kulakukan hanya berdiri diam dengan kaki yang gemetar seperti yang orang itu perintahkan. Dari atas jalur pendakian, kabut tebal turun bergulung-gulung menelan apa pun di bawahnya. Mataku terbelalak, jeritanku tercekat di tenggorokan. Suara gending-gending bergaung semakin jelas, diikuti harum bunga kantil yang merebak. Sekejap saja gulungan kabut itu melahap tubuhku dan mengaburkan pandanganku.
Ketika kabut itu perlahan menghilang aku terkesiap mendapati diriku berdiri di tempat yang tak kukenali. Tanjakan curam di depanku hilang berganti tangga batu dengan ratusan anak tangganya. Jantungku berdegup kencang menyadari aku berdiri di tengah-tengah tangga ini seorang diri, orang itu juga menghilang!
Kuedarkan pandangan, seluruh tempat ini diselubungi kabut kelabu tebal yang bergerak perlahan. Masih ada puluhan anak tangga lagi untuk mencapai puncaknya yang diselimuti kegelapan. Pemandangan yang tak berbeda juga kutemukan ketika aku menoleh ke bawah. Puluhan anak tangga batu berbaris rapih ke bawah tanpa akhir seakan berujung di perut bumi.
Kucubit tanganku sendiri berharap ini tak nyata. Rasa sakit cubitan itu membuat keringatku mengucur semakin deras. Dadaku bergemuruh, kutahan dengan sia-sia isakan tangisku, tak ingin mengganggu apa pun itu yang sedang melayang kesana kemari di balik kabut atas kehadiranku.
Tak ada sedikit pun cahaya bulan yang mampu menembus selubung kabut, namun tempat ini temaram di terangi cahaya obor yang berbaris di sisi kanan dan kiri tangga, satu setiap sepuluh meter. Api obor itu bergoyang-goyang liar tiap kali terhembus aliran angin dingin yang terus turun dari puncak tangga. Angin dingin yang sama yang membuat lututku tak mampu berhenti gemetar.
Untuk beberapa saat aku hanya mampu terpaku di tempatku berdiri, tak mampu beranjak sedikit pun hingga mendadak harum bunga kantil tadi kembali hadir. Perlahan telingaku mendengar sayup-sayup gending-gending gamelan tadi merambat dari suatu tempat di balik kegelapan. Semakin lama wangi bunga kantil itu semakin pekat, jantungku makin berderap, siapa pun pemilik wewangian ini sedang bergerak mendekat!
Nafasku kian memburu, apa yang harus kulakukan! Wewangian ini berasal dari kegelapan di bawah sana. Kutatap anak tangga batu yang akan mengantarkanku ke atas dengan ragu, aura kengerian menguar dari sana, seakan ada jari-jari kurus yang siap menjerat jika aku berani mendekat sedikit saja.
Satu-satunya jalan hanya menyembunyikan diri di balik kabut di sampingku. Tebalnya kabut itu mengaburkan apa pun yang ada di baliknya, aku bahkan tak dapat melihat apa yang kupijak. Doa-doa kupanjatkan, semoga bukan jurang!
Tubuhku sedikit bergidik ketika kuberanikan melangkah, tebalnya kabut bahkan membuatku tak mampu melihat ujung sepatuku sendiri.
Lalu kelegaan yang luar biasa membuncah saat menyadari kakiku menginjak tanah padat. Kelegaan yang langsung buyar kala menyadari wangi bunga kantil itu kian mendekat. Aku mengambil beberapa langkah lagi sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke tanah, berharap kabut ini mampu menyelubungiku dari siapa pun pemilik wewangian itu.
Harapan yang tingggal hanya harapan karena perlahan aku dapat melihat pohon-pohon cantigi mati dimana-mana. Kabut ini menipis dengan cepat! Aku makin ingin menangis saat melihat tangga batu di belakangku dengan jelas. Siapa pun yang sedang mendekat juga akan melihat keberadaanku jika aku tak buru-buru mencari tempat persembunyian!
Dengan tangan gemetar kuseret tubuhku ke balik sebatang pohon cantigi terdekat. Kubekap mulutku sendiri agar tak bersuara sambil terus menahan tangisanku yang seakan menggedor-gedor dada.
Siapa pun pemilik wangi bunga kantil itu sudah berada di belakangku!
***
Dengan leher kaku kupaksakan diri untuk mengintip di balik celah batang kurus pohon cantigi. Aku nyaris saja terpekik andai tanganku tak buru-buru mengunci mulutku. Berdiri di sana sesosok perempuan tua berwajah pucat berpakaian serba hitam. Wajah itu tertutup garis-garis keriput yang memanjang hingga seakan menciptakan gelambir di bawah dagu dan lehernya. Wangi bunga kantil yang pekat menguar dari tubuhnya. Rambutnya acak-acakan dan terurai melewati punggung, pinggang dan kakinya. Aku tak tahan lagi ingin menangis.
Dengan mata terbelalak lebar aku hanya bisa mengintipnya tanpa berani bergerak dan bersuara. Inikah sosok yang dimaksud orang itu tadi? Nyi Linggi!
Keheningan yang mencekam terasa mencekik leherku. Aku mulai tak kuasa menahan gemetar tangan yang sekuat tenaga tengah membekap mulutku dan sementara kakiku pelan-pelan mulai mati rasa. Perempuan tua mengerikan itu masih mematung di sana. Aku sudah tak tahan lagi!
Sebuah gerakan kecil terlihat, aku mengintipnya dengan penuh harap supaya dia cepat berlalu. Aku bahkan tak berani berdoa dalam hati, takut perempuan tua itu ternyata bisa merasakan suara hatiku. Kemudian dengan gerakan perlahan kulihat perempuan tua itu mulai melayang pergi. Kuhembuskan nafas dari mulut dengan hati-hati sekali. Untuk sementara aku aman!
Saat kepalaku berbalik lagi-lagi aku nyaris terpekik. Di bawah setiap pohon cantigi tergeletak banyak tubuh-tubuh kaku. Seorang diantaranya malah tepat tergeletak di sampingku tanpa kusadari. Aku megap-megap kehabisan nafas. Mataku panas, air mataku mulai menetes deras. Aku tak sanggup lagi dengan semua ini, aku ingin pulang..
Namun kembali teringat pada Adi, cepat-cepat kuhapus air mataku. Semua ini salahku, aku yang harus menyelesaikan ini, pikirku.
Dengan takut kuperhatikan tubuh-tubuh yang terbujur kaku ini. Mereka seakan-akan hanya tertidur biasa, namun wajah-wajah pucat itu mengingatkanku bahwa mereka bukan manusia. Firasatku berbisik jangan sampai membangunkan orang-orang ini.
Dengan nafas tertahan, aku bergerak dengan hati-hati sekali. Tapi kemana? Kulayangkan pandang dengan kebingungan. Sebelum kabut tadi menyergap, tinggal selangkah lagi untuk ke Batu Lingga. Tapi sekarang disini aku sungguh mengalami disorientasi. Kemana harus kucari pembalut terkutuk itu?
Seekor burung hitam melompat-lompat diantara dahan cantigi di depanku. Aku memilih mengikuti kemana dia pergi. Suhu udara terasa semakin dingin tapi tubuhku terus dibanjiri keringat. Burung itu membawaku masuk semakin jauh, pohon cantigi dan semak tumbuh kian rapat, rantingnya yang seperti jari mayat menyayat-nyayat kulitku. Kabut tipis kembali terlihat di setiap penjuru.
Masuk semakin dalam, nyaliku mulai habis terkikis. Tiap waktu aku harus selalu mengingatkan diriku untuk bertahan. Hingga tiba-tiba burung hitam itu hilang dari pandangan. Di depanku kini terhampar tanah lapang luas, sejengkal di atasnya kabut kelabu terlihat mengambang.
Burung itu membawaku ke tempat ini, mungkin ini tempatnya, pikirku.
Dengan nafas yang memburu dan detak jantung yang bertalu-talu kulangkahkan kakiku menapak tanah berkabut itu.
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerita Horor Nyata
HororBerisi kisah-kisah nyata para pendaki dan kisah horor lainnya