#9

633 68 0
                                    

Bunyi klakson panjang membuatku tersentak. Sebuah mobil minibus dengan mesin yang masih menyala berhenti di depan gerbang.

"Pasien, Suster!" seru seorang pria seraya melambaikan tangan ke arahku. 

Hari ini aku shift sore di ruang Delima. Waktu telah menjelang petang. Langit mulai kemerahan.

Aku mendekat. 

"Mana pasiennya?" tanyaku menengok ke dalam mobil.

Di dalam mobil, seorang ibu terbaring lemah ditemani beberapa wanita.

"Ari-arinya belum lahir, Sus. Lahir sama bidan kampung. Kami dari desa." Seorang wanita di sisinya menyibak selimut yang menutupi bagian bawah ibu. Tali pusar menyembul di situ. 

Aku segera menarik sebuah brankar yang menyender di depan ruang bersalin. Memindahkan pasien dibantu kerabatnya.

Jujur ... hari ini semangat kerjaku kendor. 

Apa kamu pernah seperti aku? Bertemu seseorang yang tidak suka padamu. Tanpa sebab, tanpa tahu salahmu apa? 

Aku mengalaminya. Mbak Ratih namanya. Seorang bidan senior yang hari ini satu shift denganku. Wanita itu membuat sekat di antara kami. Tak pernah mau bertegur sapa denganku. Sementara dengan teman lain ia begitu supel bergaul.

Apa salahku?

Pernah coba kutanya pada teman-teman. Mungkin aku pernah berbuat salah padanya. Aku siap minta maaf. Tapi ... mereka malah menjawab dengan candaan.

'Mungkin kamu mirip selingkuhan suaminya.' 

Aah!

Setiap satu shift, Mbak Ratih selalu menjauhiku. Seolah aku kuman berbahaya. Kesiankan aku?

***

"Siapkan untuk kuret," titah dokter Alex. Setelah selesai melakukan semua pemeriksaan pada pasiennya. 

"Siap, Dokter," sahutku. Dengan sigap aku menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan. 

Untung aku sudah hafal alat-alat kuret yang jumlahnya lusinan itu. Sendok kuret kutata rapi dari yang besar sampai paling kecil. Berbagai bentuk spekulum, dan lain sebagainya. Lebih ribet dari alat bengkel motor.

Mungkin orang awam yang melihat akan bergidik ngeri. Padahal tidak semua alat itu digunakan. Karena tuntutan prosedurlah, maka semua alat itu harus selalu tersedia.

"Kamu jaga sendirian?" tanya dokter Alex di sela kegiatannya mengeluarkan sisa jaringan. 

"Hu' um," sahutku. Lengan kananku mulai mati rasa memegang erat spekulum. 

Dalam hati aku berdoa semoga cepat selesai. Sebagai asisten kuret, tugasku memegangi spekulum untuk membuka jalan lahir. Jika dokter lama mengerjakan, tangan semakin pegal.

Jaringan kemerahan itu berjatuhan di antara lenganku yang tertutup gloves. Terasa hangat. Kemudian terkumpul di penampung.

Dalam ruang kuret hanya ada aku, dokter Alex dan pasien yang dalam pengaruh obat anestesi. Mbak Ratih, entah ada di mana.

"Mana yang lain?" Dokter Alex menatapku sejenak, dari balik kaca mata.

"Mbak Ratih mungkin sibuk di ruang nifas, Dok," sahutku asal.

Tindakan kuret selesai. Pasien masih di obsevasi di ruang bersalin. Waktu menjelang malam.

"Saya mau istirahat dulu, Sus." 

MEREKA YANG DITANDAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang