Saskantara.
Gue nggak tahu sejak kapan Perpustakaan Pusat Universitas menjadi satu-satunya tempat yang paling sering gue kunjungi. Bukan, gue bukan salah satu mahasiswa teladan yang selalu membunuh waktu kosong yang gue punya untuk membaca buku-buku ilmuwan yang isinya klausa-klausa kata yang nggak pernah bisa gue ngerti. Gue cuma mahasiswa semester lima yang kerjaannya cuma kuliah-rapat-party.
Gue di sini untuk seseorang. Seseorang yang selalu menjadi alasan utama gue untuk beranjak dari kasur setiap harinya. Dia Binar. Binar Mentari Pagi nama lengkapnya. Gue nggak tahu hal apa yang ada di diri dia, yang sampe-sampe bisa membuat diri gue ketarik gitu aja ke dalam hidup dia, yang bisa dibilang nggak ada menarik-menariknya sama sekali.
Dia hobi nulis, tapi dia nggak suka baca. Jadi gue selalu menjadi satu-satunya orang yang dia korbankan untuk membaca tulisan dia. Nggak, gue nggak merasa kesel sama sekali. I feel so honored, malah. Cuma apa ya... kadang gue merasa percuma aja gitu. Karena ujung-ujungnya gue nggak bisa ngasih feedback apa pun. Walaupun kata anaknya fine-fine aja, tapi gue ngerti, kadang dia butuh opini yang berguna untuk ningkatin skill nulisnya.
"Woi!" Dia notice keberadaan gue ternyata.
Gue cuma bisa merespon panggilannya dengan senyum kecil, lalu berjalan pelan ke arah dia yang lagi duduk di pojok kanan perpustakaan dengan buku dan pulpen yang waktu itu gue berikan di hari ulang tahunnya.
"Selamat siang, Binar Mentari Pagi. Udah makan siang belum?" Gue bertanya sambil mendudukkan tubuh gue di samping kirinya.
"Belum, baru kelar kelas soalnya." Dia menjawab sambil terus menulis.
"Udah minum?"
"Udah, tadi minum teh kotak dua."
"Udah mandi?"
"Ya udahlah. Pertanyaan aneh. Kalo gue belum mandi, gue nggak akan ada di sini." Dia jawab dengan nada keselnya.
"Kalo sayang sama gue... udah belum?"
Tangan kanannya yang sedari tadi menulis berhenti sesaat. Netranya terhenti di satu titik tanpa bergerak sedikitpun.
"Semalem gue lihat instastory temen lo, lo sama temen-temen lo yang lain lagi party di Cheers."
Binar Mentari Pagi. Si juara satu pengalihan isu.
"Iya. Kenapa?"
"Ngerayain apa?"
Gue terdiam. Gue nggak memiliki keberanian sedikitpun untuk menjawab pertanyaan yang Binar ucapkan.
"Random aja. Tiba-tiba si Theo traktir anak-anak."
Binar mengangguk pelan mendengar jawaban gue. Thanks God... he didn't ask anything else about it.
"Oh. Bukannya ngerayain satu tahunan hubungan lo sama Aura?" Kali ini dia bertanya sambil memandang ke arah gue.
Tatapan matanya terkesan begitu datar, seolah-olah memang nggak pernah ada tuntutan atau pun rasa kesal yang hinggap di dirinya.
"Nggak usah ngomongin orang yang nggak ada di sini, Bin."
"Kenapa sih lo selalu berubah jadi galak tiap gue nyebut nama pacar lo? Cemburuan banget heran. Gue juga nggak bakal naksir kali sama Aura!"
Udah hampir dua tahun berlalu, ternyata Binar tetap nggak pernah paham apa-apa, ya? Ternyata Binar yang ada di samping gue sekarang, tetap sama dengan Binar yang dua tahun lalu gue kenal secara nggak sengaja.
"Nggak gitu, Bin."
"Ya terus lo kenapa marah mulu tiap kali gue nyebut nama cewek lo?"
"Nggak suka aja gue, Bin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Saskantara
RomanceSaskantara dengan Binar, seperti dua garis dan titik yang tidak pernah saling bersinggungan. Tiap kali Saskantara bergerak pasti ke arahnya, Binar tanpa ragu berlalu pergi berlawanan arah. Saskantara tidak pernah berhasil menemukan garis temu yang t...