Aku mencoba berjalan diantara waktu yang berlalu untuk menemui berbagai macam hal-hal yang ingin kuurai perlahan dan mencoba melepaskan diri dari emosi-emosi yang bukan milikku. Mencoba menelusuri kembali dan merangkai ulang kerangka-kerangka yang menunjukkanku pada inti kehidupan ini.
Lalu aku bertemu dengannya, anak perempuan kecil yg berjalan riang sendirian, usianya sekitar lima tahun, dia mengenakan seragam khas anak TK dan tas mungil berwarna merah muda, rambutnya yang keriting dipasang banyak jepit-jepit mungil dengan banyak warna yg lucu. Aku membutuhkannya untuk kutanyai, sebelum senja datang aku harus mendapatkan hal yang kuinginkan dari anak kecil ini.
Lalu aku memberanikan diri untuk menyapanya, "Hai, bolehkah kita berbicara sebentar?" Tanyaku pada anak perempuan itu, dia terlihat sedikit terkejut karena ada orang asing yg mengajaknya berbicara.
Anak perempuan itu nampak ragu, tapi dia memberanikan diri untuk menatapku dan mencoba untuk membalas sapaanku, "Hai juga, emb... Apa yang akan kita bicarakan?" Dia nampak sangat menggemaskan dengan pandangan yang menampakkan rasa penasaran.
Aku mencoba tersenyum dan menampakkan keramahan, "Bisakah kita berbicara dengan jalan-jalan santai di sekitar sini?" Tawarku padanya dan sepertinya dia menyetujui tawaran ini.
Lalu kami berjalan, aku mencoba menggandeng tangannya yang mungil, anak perempuan itu tidak menolak. Lalu aku mulai bertanya tentang rambutnya yang nampak mencolok tapi sangat menggemaskan, "Rambutmu lucu sekali, ibumu menghiasinya dengan telaten ya?" Tanyaku, sedikit penasaran dengan reaksinya.
Anak perempuan itu menggeleng "Tidak, ibuku sibuk, jadi aku menghias rambutku sendiri, cantik kan?" katanya penuh semangat dengan menunjuk ke arah rambutnya yang keriting dan dihiasi oleh jepit-jepit kecil yang lucu.
Aku mengangguk, tersenyum dan menanggapinya, "Ya, tentu saja itu keren sekali, kau masih TK sudah bisa merapikan dan menata rambutmu sendiri." Ujarku dengan nada penuh bangga, berharap dia bisa merasakannya.
Lalu dia mulai berceloteh lagi "Kau harus tahu, aku sudah bisa memakai baju tanpa salah lubang kancing, bisa memakai rok dan mengenakan sabuk dengan benar. Aku juga berangkat sekolah sendiri dan tidak ditunggui oleh ibu. Tapi terkadang aku sedih ketika gerbang sekolah mulai ditutup dan aku menunggu jemputan sangat lama." Anak itu nampak sedih di akhir kalimatnya tadi.
Aku mencoba meresapi perasaannya, tanganku terulur untuk mengusap pipinya dengan lembut. "Kau tahu, bagiku dirimu adalah anak perempuan termanis dan penuh keajaiban. Kau benar- benar istimewa, kau bisa memakai baju tanpa salah lubang kancing, bisa mengenakan rok dan memasang sabuk dengan benar, bisa menghias rambutmu sendiri dan berangkat sekolah tanpa perlu ditunggui. kau benar-benar bisa bersabar menunggu jemputan meskipun sekolah sudah menutup gerbang dan bisa menunggu lama." aku menjelaskan dengan panjang lebar, mencoba menyampaikan bahwa aku benar-benar bangga dengannya.
Lalu dia menimpali lagi, "Tentu saja, aku harus bisa melakukan apa saja sendiri. Sebentar lagi aku akan memiliki adik, semoga saja dia perempuan, kalau laki-laki aku tidak akan mau bermain dengannya." serunya dengan mengerucutkan bibir mungilnya dan
aku tertawa.
Kami terus berjalan, dia berceloteh dan aku terus menanggapi ocehannya tentang orang-orang disekitarnya, kami terus berjalan-jalan disekitar dengan bergandengan tangan, dia bercerita tentang orang-orang yang dekat dengannya, ayah yang selalu dicium keningnya sebelum berangkat kerja, ibunya yang selalu sibuk, permen coklat dari bibi, berbagi pisang bakar dengan kakek, teman kembarnya yang selalu bertengkar dan banyak hal lainnya.Lalu aku menanyakan padanya tentang kehidupan sekolahnya, tapi anak perempuan itu nampak tidak menyukai ketika aku menanyakan itu. Kami berhenti sejenak, aku berjongkok untuk menyamakan tinggi badan kami, aku menggenggam kedua tangannya dan menatap ke kedua matanya dengan seksama, memintanya untuk menatapku dengan cara yang sama. "Lihat aku! Aku akan mendengarkanmu, jadi ceritakan saja semuanya, semua yang membuatmu merasa tidak nyaman." Aku berusaha meyakinkannya, agar dia mau membagikan kesedihannya padaku.
Anak perempuan itu nampak ragu di awal, namun aku tetap menunggunya dan akhirnya dia memulai ceritanya "Karena aku selalu sekolah sendiri mereka tidak mau berteman denganku, mereka selalu mengambil penggaris, spidol warna, pensil dan kertas lipatku." Dia mengatakannya dengan mata mulai berkaca-kaca. "Mereka pernah menyuruhku masuk ke kamar mandi dan mengunciku dari luar, aku pernah didorong hingga jatuh dan mereka mengejekku karena aku sekolah tanpa ibu menungguiku. Mereka selalu mengolokku, aku sangat sedih, kenapa mereka melakukan itu?" Matanya masih berkaca-kaca tapi dia tidak menangis. Aku menghela napas, mencoba meresapi kesedihannya, memikirkan kata yang tepat untuk meresponnya.
"Tentu saja itu menyebalkan, perilaku mereka itu tidak benar dan kelewatan. Kau pasti sedih karena tidak ada seorang pun yang membelamu." aku mencoba untuk memvalidasi kekesalannya terhadap perundungan yang diterimanya. "Anak-anak di taman kanak-kanak itu tidak tahu apa-apa dan mereka belum pintar. Kau hebat dan sudah pintar, kau bisa melakukan semuanya sendiri di usia sekecil ini. Tidak apa-apa makan sendiri tanpa disuapi ibu seperti mereka, karena kau anak yang keren. Kau sudah bisa memahami kesibukan orang tuamu, itu keren sekali." aku mencoba sedikit menghiburnya.
Anak itu nampak bingung dan memiringkan kepalanya, nampak kebingungan juga terlihat sangat menggemaskan, "Kau bekata terlalu panjang, aku jadi tidak mengerti apa yang kau bicarakan." dia berkata dengan wajah polosnya dan itu membuatku tertawa keras.
Aku menghentikan, "Tidak apa-apa kau tidak paham sekarang, nanti, suatu hari nanti kau pasti paham dengan apa yang aku sampaikan." anak itu mengangguk dengan pelan meskipun masih kebingungan.
Aku menoleh ke sekitar, senja telah datang, itu artinya kami harus berpisah. Mendengarkan anak itu berceloteh lama dan mengajaknya berjalan membuatku tidak sadar akan waktu. Aku sangat menikmati semua cerita, keluh kesah dan senyuman cerianya.
"Kau tahu kan, aku sangat menyayangimu dan kau sudah tumbuh menjadi anak yang pintar. Tapi aku harus kembali, kita bisa bertemu besok." aku menjelaskan, berharap dia memahami bahwa aku juga ingin dia baik-baik saja meskipun dia sendirian.
"Besok kau kembali kan?" tanya anak itu dengan mata penuh harapan. aku tersenyum dan mengangguk antusias, "tentu saja aku kembali, aku akan berpisah sementara denganmu, tapi rasanya aku sudah sangat merindukanmu lho!" aku mencoba sedikit melebarkan senyum agar anak perempuan itu tidak terlalu sedih.
"Ya sudah, kau boleh kembali dan aku akan menunggumu." dia memberikan jarak, sedikit mundur. Aku mulai melangkah menjauh, melambaikan tangan untuknya dan dia juga melambaikan tangan untukku.
Jarak kami semakin jauh, aku merasa sangat sedih karena berpisah dengannya, rasanya aku ingin membawanya sersamaku, menjaganya agar dia selalu baik-baik saja, tapi itu mustahil. Bagaimanapun juga dia hanya bagian dari kehidupan yang tidak bisa aku bawa pulang.
Aku terus berlalu dan senja sudah menghilang, aku kembali dengan sedikit perasaan gamang, haruskah aku kembali ke 'rumah'?
art by: AmiraFayyadArd pinterest
KAMU SEDANG MEMBACA
Sendu dipenghujung Senja
Randomhal random dari manusia yang belajar cara menguraikan emosinya.