[5] Keadilan 1

176 31 6
                                    

Malam ini, Aca rewel karena badannya sedikit demam. Cakra hanya mengompresnya menggunakan air hangat. Karena Aca tidak mau minum obat ataupun sekedar mengisi perutnya dengan makanan. Dia tidak bisa tenang kalo gadis kecil itu sakit seperti ini. Karena dari tadi dia tidak bisa melakukan aktivitas apa-apa selain duduk sambil memangku Aca yang ada di pelukannya.

"Ca, minum obat yuk! Biar sembuh."

"Aca gak mau minum obat Abang. Aca mau es krim." Lagi-lagi gadis kecil itu terus merengek meminta es krim untuk kondisinya yang masih kurang sehat.

"Tapi Aca masih sakit, gak boleh makan es krim dulu. Sekarang Aca minum obatnya dulu dong biar bisa makan es krim lagi, " balas Cakra yang masih berusaha lembut walaupun dia sedang menahan amarahnya karena adiknya itu sangat susah diatur.

Aca menggeleng lagi menolak bukannya. "Obatnya pait, Aca gak suka."

"Namanya obat ya pait Ca, kalo permen baru manis. Aca tau gak sih Abang itu lagi pusing. Aca ngertiin abang dikit dong! Aca jangan bikin Abang tambah pusing." Kali ini Cakra benar-benar tidak bisa menahannya lagi.

Cakra mengeluarkan semua unek-uneknya ke adiknya itu yang duduk di pangkuannya. Aca yang tampak terkejut karena suara keras darinya langsung menjauhinya dan pelan-pelan mulai menangis.

"Abang kok marahin Aca..."

Aca terisak menangis dengan keras yang membuat Cakra mengacak-acak rambutnya karena frustasi.

"Ca..."

"Maafin Abang ya! Abang gak bermaksud marahin Aca kok. " Pelan-pelan Cakra mendekati adiknya yang perlahan jalannya memundur, seakan takut akan dimarahi lagi olehnya.

Sumpah! Demi apapun! Dia tidak berniat untuk memarahinya. Dia hanya kesal, kesal dengan keadaan yang tidak mau berpihak kepadanya.

"Aca!"

Aca berlari keluar rumah dengan boneka kesayangannya yang terus ia genggam. Gadis itu berlari kencang sambil menangis. Hal yang membuat Cakra panik setengah mati. Sembari mengejar, Cakra terus membayangkan bagaimana jika hal-hal yang buruk terjadi kepada Aca? Bagaimana jika dia tertabrak mobil? Diculik? Ataupun pingsan di tengah jalan karena sakit? Ah itu semua campur aduk di pikiran Cakra saat itu.

Dia kehilangan jejak Aca, karena sandal jepit yang ia pakai copot di tengah jalan. Sialan. Ia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri jika terjadi apa-apa dengan Aca.

Tidak berhenti sampai disitu saja perjuangannya menemukan Aca. Dia terus mencari sekeliling kampung tanpa memikirkan kakinya yang sakit karena beberapa kali harus menginjak kerikil di jalan.

Tiga menit, lima menit, sepuluh menit, sampai dua puluh menit dia tidak menemukan jejak Aca sama sekali. Sampai akhirnya...

"ABANG!"

Hampir saja dia ingin menangis disitu. Namun suara manis milik adiknya itu mampu membuatnya tersenyum kembali. Cakra membalikkan tubuhnya, menatap Aca yang terlihat ceria sambil menggenggam dua buah es krim di tangan mungilnya.

"Ca, kamu dibeliin es krim siapa?" tanya Cakra sambil membungkuk, menjajarkan tingginya agar sejajar dengan gadis kecil itu.

"Abang itu." tunjuk Aca ke belakangnya.

Seseorang datang dengan nafas yang tidak beraturan. Orang itu membawa boneka milik Aca yang sempat dibawa tadi. Orang itu menaruh kedua tangannya ke lutut untuk menetralkan nafasnya.

"Eh Cil, jangan lari-larian kayak gini! Ditabrak megalodon tau rasa lo."

Cakra menatap orang itu dengan tajam. Dia tidak asing lagi dengan siapa orang itu. Gavi, Orang yang tadi pagi sempat meminta kembalian olehnya di sekolah.

Fight Or DieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang