Sore itu adalah sore yang sama seperti biasanya. Hanya saja, perasaan kinan yang sedikit berbeda. Entahlah, langit senja sepertinya ikut larut dalam kesedihan yang terpancar jelas di wajah kinan yang kian sendu. Senja yang biasanya memperlihatkan warna oren yang indah, kini memilih untuk bersembunyi dibalik awan hitam yang terlihat menyeramkan. Ya, kinan kembali menyesal akan sikapnya. Berkali-kali kinan selalu menyalahkan dirinya sendiri atas pilihan yang telah ia buat. Jika kalian bertanya-tanya apa yang membuat kinan sedih, maka jawabannya adalah keluarganya sendiri. Kinan tau betul jika kematian adalah hal yang buruk. Namun ia tak tau, jika masa-masa setelah kehilangan orang terdekat merupakan hari paling menyeramkan yang pernah kinan lewati. Kehilangan sosok ayah pada usia 14 tahun bukanlah sebuah hal yang dapat ia terima dengan mudah. Mati-matian kinan selalu menahan tangis, saat orang-orang berusaha untuk menghibur dan menguatkan. Puluhan kali kinan menyuguhkan senyuman palsu, hanya untuk menutupi betapa rindunya ia dengan sang ayah yang telah tiada. Hingga tibalah kini, dengan langit mendung yang siap menumpahkan air matanya. Begitu juga dengan kinan, gadis yang masih lengkap dengan seragam putih Abu-Abu itu kembali terdiam menatap jalanan aspal didepannya. " Sudah 3 tahun yah" Bisiknya pelan, seolah sang ayah mempu mendengar suaranya.
" Tapi kenapa sifat ibu masih sama yah" Dengan perlahan, air matanya turun bersamaan dengan langit yang mulai menumpahkan airnya.
" Kinan capek, harus pura-pura bodoh di depan keluarga yang lain yah, kinan capek disalahin sama sepupu kinan yah, kinan capek sama semua ini yah" Teriaknya dengan air mata yang terus menerus jatuh di pipinya yang sedikit cabi. Sore itu, kinan kembali menangis seorang diri dibawah guyuran, dengan harap jika ayahnya mampu untuk mendengar keluhannya. Langit kala itu sangat temaram, ikut larut dalam segala masalah, dan kesedihan kinan.
KAMU SEDANG MEMBACA
HURT
Teen Fictioncerita ini berisi mengenai rasa takut, sedih, cemas, dan juga bimbang dalam hidup. mari saling menguatkan, agar seluruh rasa itu dapat menyatu, dan berubah menjadi sebuah kebahagiaan.