01

89 15 0
                                    

Semilir angin sore mengiringi langkah Mark sepulang sekolah. Ia selalu menyusuri jalan ini, yang berjarak lebih jauh dari rumahnya namun lebih sepi dan tenang. Tidak dipenuhi oleh suara-suara bising dari kendaraan yang berlalu lalang.

Mark Lee hanyalah remaja biasa, yang baru memulai tahun pertamanya di Senior High School. Hari pertamanya masuk sekolah, ia lalui begitu saja. Tak banyak yang menarik perhatiannya. Hanya anak-anak sok dewasa yang bangga memakai seragam dengan wangi tekstil yang khas, sangat mencirikan wangi pakaian yang baru keluar dari toko. Mark hanya berkenalan dengan pemuda bermata sipit yang menjadi teman sebangkunya dan juga satu pemuda lagi yang duduk di depannya. Namanya pun Mark ingat samar-samar.

BRAAKK!!

"AAHH!!" Pekikan dan suara rusuh terdengar kemudian. Mark sedikit terhuyung karena ada yang menabrak bahunya dari belakang, ia kemudian jatuh terduduk. Tak jauh darinya, ada tersangka yang menjadi penyebab dari kekacauan ini. Mark melihat seorang pemuda yang ia tebak usianya tak jauh berbeda. Mark mengamati pemuda yang meringis karena jatuh tersungkur setelah menabraknya, pemuda itu berkulit tan yang indah, matanya bulat, juga pipi lucunya yang menggembung karena meniup lututnya yang lecet. Mark pun mendekati pemuda itu.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Mark. Pemuda yang masih sibuk dengan lututnya pun menatap Mark dengan mata yang berkaca-kaca, menahan perih di lututnya yang luka.

"Aku baik-baik saja. Apa kau juga terluka? Maaf aku tak sengaja menabrakmu," jawab pemuda itu.

Mark tertawa kecil mendengarnya. Dasar bocah yang berlagak kuat! Lututnya terluka tapi ia masih bisa berkata bahwa ia baik-baik saja?

"Kenapa tertawa? Apakah aku menabrakmu begitu kencang hingga membuat pikiranmu juga terganggu?" tanya pemuda itu lagi.

"Aku baik-baik saja, sungguh. Tidak ada yang terluka. Berbeda denganmu yang lututnya terluka dan hampir menangis," ledek Mark.

"Aku tidak menangis?!" balas pemuda itu. Mark tertawa mendengarnya.

"Baiklah, sebaiknya kita obati dulu lukamu. Kau bisa berdiri?" tanya Mark.

"Bisa," jawab pemuda itu yang mencoba berdiri namun kesusahan karena lututnya terasa nyeri. Mark membantunya dan menopang pemuda itu untuk duduk di kursi taman yang tak jauh dari situ.

"Tunggu disini, aku akan belikan plester luka," ucap Mark.

"Eh tidak usah! Aduh, nanti merepotkan," cegah pemuda itu. Mark menggeleng.

"Tunggu disini." Mark kemudian segera berlari menuju toko serba ada yang terletak di ujung jalan. Mark membeli obat antiseptik dan juga plester luka.

Mark kembali berlari ke bangku taman di mana ia meninggalkan pemuda itu. Mark bersyukur karena pemuda itu masih duduk di sana, sedang sibuk mengipasi lukanya. Mark kemudian berjongkok di depan pemuda itu. Mark mengeluarkan tissue basah dari tasnya, kemudian membersihkan area di sekitar luka itu. Pemuda itu sesekali meringis dan Mark hanya meniup pelan lukanya. Mark mengeluarkan obat antiseptik yang baru saja dibelinya, dan pemuda itu menjauhkan kakinya dari Mark.

"Tidak! Cukup dibersihkan saja! Aku tidak mau diobati!" Pemuda itu mencekal tangan Mark yang memegang obat.

"Nanti lukanya bisa infeksi," bujuk Mark.

"TIDAK MAU!! MAMA TOLONG ECHAN MAMAAA!!" Pemuda itu merengek di depan Mark. Mark tertawa melihat tingkah menggemaskannya.

"Ini tidak perih, aku janji," Mark masih berusaha membujuknya.

"Hiks bohong! Itu pasti sangat sakit!" balas pemuda itu yang mulai menangis.

"Tidak. Begini saja, kalau kau kesakitan kau boleh memukulku, bagaimana?" tawar Mark.

Dream The LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang