Arya tersenyum lega. Akhirnya tanggal yang selalu ia tunggu tiba. Kerja keras yg dibayar satu bulan sekali itu akhirnya membuahkan hasil. Arya mendapat uang gaji dari hasil jeri payahnya. Meski tak banyak, namun itu cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan sedikitnya ia sisihkan di dalam tabungan.
Rencananya besok ia akan pergi bersama Nara. Arya tak lupa menyisihkan sebagian uangnya untuk pergi bersama gadis itu. Tak berselang lama pintu tiba-tiba terbuka lebar dengan suara gebrakan yang kencang.
Arya yang tengah memegang uang seketika terlonjak kaget dan menoleh ke pintu, menampilkan Barka yang baru saja pulang sekolah dengan penampilan yang acak-acakan.
"Apa lo? Yang sopan sama orang lebih tua!" Tegur Arya.
Barka tersenyum miring, matanya tertuju pada uang yang Arya pegang. "Gajihan lo, bang? Gak bagi gue?"
"Enteng banget lu ngomong? Baru aja kemaren gue kasih 300 ribu udah habis?"
"Habis lah. Orang biaya hidup gue mahal." Ketus Barka.
Arya menghela napas, "Emang lo ya, jadi adik gak ada tatakrama banget."
"Adik?" Barka menaikan satu alisnya. Ia melangkah dengan bersedekap tangan menunjukkan gelagat angkuh. "Sejak kapan gue jadi adik lo, bang?"
Arya menutup matanya, menarik napas untuk kesekian kali agar emosinya tidak naik ke ubun-ubun.
Barka tertawa kecut. "Lo cuman anak pungut orangtua gue, bang! Jangan harap lo gue anggap kakak! Sudi gue punya kakak yatim piatu kayak lo!" Serang Barka sukses membuat Arya naik pitam.
Pemuda itu mendorong Barka sampai tersudut ke tembok dengan keras. Barka meringis kesakitan. Lehernya terkunci oleh kepalan tangan Arya pada kerah seragam sekolah remaja itu.
"Jaga bicara lo! Gue bukan anak yatim piatu, orangtua kandung gue masih hidup!"
"Kalau masih hidup, dimana dong mereka? Jangan-jangan lo anak haram ya? Anak yang gak diinginkan, makanya mereka buang lo?"
Dengan sorot mata tajam, Arya berdesis. Hatinya teriris perih ketika mendengar perkataan Barka yang begitu menusuk.
"Kalau lo gak nganggap gue kakak lo, terus kenapa lo selalu minta uang ke gue? Kenapa lo selalu panggil gue abang? Dan kenapa di saat lo lagi di marahin sama nyokap bokap lo, lo selalu berlindung di gue?!" Tanya Arya dengan penuh penekanan.
Urat di lehernya menegang, sementara wajah Barka semakin memerah antara sesak napas dan takut.
"Gue emang anak pungut, tapi gue gak sehina dan serendah lo! Inget itu!" Arya menggebrak Barka sehingga kembali menabrak tembok setelah Arya tarik sedikit.
Barka meringis, remaja itu rubuh dengan tangan yang memijit kepala. Ia menatap tajam ke arah Arya yang perlahan menghilang keluar rumah.
"Gak tau diri banget jadi orang! Dasar setan!" Desis Barka.
........
Pukul 10 malam, Arya baru pulang ke rumah setelah ia bekerja di kafe. Perkataan Barka tadi masih terngiang-ngiang di kepalanya. Kalimat itu terlalu menyakitkan untuk Arya yang selama ini masih mencari keberadaan orangtua kandungnya.
Ia terkadang berpikir, apakah dirinya anak diluar pernikahan atau anak yang tidak orangtuanya inginkan, sehingga mereka berani membuangnya dan pergi begitu saja?
Tapi Arya selalu berpikir positif dan menepiskan jauh pikiran-pikiran buruk tersebut. Dirinya yakin, pasti ada alasan mengapa mereka meninggalkan Arya tanpa jejak sedikit pun.
Alih-alih menatap langit-langit kamar, ia tersenyum membayangkan wajah Nara esok hari. Rencananya, ia bersama Nara akan berkunjung ke rumah orangtua Nara.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIFURKASI RASA [SEGERA TERBIT]
Ficção AdolescenteBifurkasi Rasa Tentang rasa yang terbagi dua Tentang luka yang pilu Tentang senyum penyembuh Dan Tentang rasa sesal yang tak akan pernah bisa mengembalikan waktu seperti sedia kala Aku tahu, menyesal tak akan pernah mengubah waktu. Namun biarlah r...