Terluka

112 41 47
                                    

Jam 7 pagi seorang gadis duduk di sudut kasur seraya menatap jendela yang terbuka lebar. Hatinya sangat gundah dan gelisah. Semalaman ia tak dapat tidur dengan tenang. Gadis itu selalu terbangun dengan kekhawatiran yang tak mampu ia jelaskan.

"Kamu udah siap buat ketemu papa?" 

Arman semalam pulang dari dinasnya. Hari ini dia mendapat libur dua hari. 

"Abang bersyukur kalau emang kamu—"

"Nara gak yakin, bang." Nara menoleh, menatap Arman yang sedari tadi berdiri di ambang pintu kamar. "Tapi ini keinginan Arya."

Arman sudah mengenal Arya dari yang diceritakan oleh Nara kepadanya. Menurutnya, Arya adalah lelaki yang gigih, meskipun belum pernah bertemu, namun setelah mendengar tentangnya dari Nara, Arman mendukung penuh lelaki yang telah menjadi kekasih adiknya itu.

"Coba aja dulu, Nar." Arman duduk di samping Nara, merangkul adik kecilnya itu dengan senyum yang terulas. 

"Abang yakin, Arya pasti berhasil ngambil hati papa asal kamu juga bantu dia. Karena itu bukan cuman untuk kebaikan hubungan kalian aja, tapi buat kita juga, Nar."

Nara menyenderkan kepalanya ke pundak Arman. Dengannya Nara selalu merasa nyaman dan aman. Sayangnya, karena tuntutan pekerjaan, Arman tak selalu ada untuk Nara.

"Abang kangen kita yang dulu, Nar. Selama ini kita kayak main petak umpet sama papa dan mama. Abang pengen banget walaupun mereka udah cerai, tapi kita masih bisa bareng-bareng dan menjalin komunikasi yang baik kayak dulu."

Nara memeluk pinggang Arman dari samping. Keinginannya sama seperti keinginan Arman. Tapi Nara tak punya nyali untuk memulai itu. 

Ia terlalu takut dengan konsekuensi yang selama ini menutupi keinginan itu. Sampai Arya datang untuk membantunya. Meskipun ia sendiri belum tahu bagaimana hasilnya nanti.

"Maafin abang ya, Nar? Abang sibuk kerja sampe gak bisa nemenin kamu setiap waktu." 

Arman memeluk Nara erat. Hatinya mencelos selaras dengan air matanya yang perlahan mengalir. 

"Maafin abang yang belum bisa mencukupi semua kebutuhan kamu. Abang janji, nanti kalau abang naik jabatan yang lebih baik dan uang gaji abang naik, abang bakal beliin semua yang Nara mau."

"Gak perlu bang. Yang Nara minta cuman satu, abang jangan pernah ninggalin Nara sendirian kayak mama dan papa."

"Abang janji."

.....

"Lo gak punya bedak apa tuh namanya yang bisa mutihin muka? Biasanya cewek suka pake buat nutupin jerawat sama noda hitam." Tanya Arya setelah ia berkaca. 

Rasa sakit masih terasa meskipun semalam sudah diobati oleh Rangga.

"Foundation? Mana gue punya." Ujar Wildan.

"Lo yakin ketemu Nara dalam keadaan babak belur gitu? Gak sakit apa? Mana mata lo bengkak gara-gara nangis semalem." Kata Rangga, ia menatap Arya dengan tatapan sendu. 

Dalam hati Rangga selalu merasa kasihan dengan kehidupan yang Arya jalani. Tapi percuma saja jika ia berbicara dan memberi saran agar Arya pergi dari rumah orangtua angkatnya atau melaporkan kekerasan itu kepada pihak berwajib, Arya tidak akan pernah mendengarkan.

Luar biasanya, alih-alih menjadi anak pembangkang, Arya justru memaafkan perbuatan keluarga angkatnya itu dan bersikap sopan seperti biasanya. Arya juga tak pernah melampiaskan emosinya pada hal-hal buruk, seperti mabuk atau terjun ke pergaulan yang salah. 

Arya justru pergi ke rumah Rangga, sesibuk apa pun sahabatnya itu. Mengajak kedua sahabatnya untuk bermain game sampai bosan atau sekedar bertukar cerita tentang permasalahan dunia sampai ia lupa dengan masalahnya. 

BIFURKASI RASA [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang