Kijoon membelai wajah gadisnya dengan lembut, mencoba merasakan semua hal yang Kijoon rasakan terhadap gadisnya. Perlahan ia mulai mengecup keningnya, lalu turun ke matanya, kedua pipinya, dan berakhir di bibir pucat pasinya.
Kijoon melumat bibir dingin itu dengan perlahan, merasakan material kenyal itu berada didalam kulumannya. Membiarkan saliva hangatnya masuk kedalam mulut Jiah yang kaku.
Decapan demi decapan terus terdengar saat Kijoon melumat habis bibir mungil itu dengan rakus. Kijoon menghentikan aktivitasnya saat pasokan udara diparu-paru menipis.
Matanya kini jatuh pada telinga gadisnya yang membentuk dengan indah, Kijoon pun mengarahkan bibirnya pada telinga kiri gadisnya. mencoba membisik agar gadisnya mendengar perkataanya.
"Bangunlah sayang—"
Wajahnya kini ia benamkan pada ceruk leher gadisnya yang panjang, mencium aroma gadisnya yang selalu ia rindukan. Lantas bibirnya tak tinggal diam.
Bibirnya semakin candu mencecap setiap jengkal tubuh gadisnya. Lumatan demi lumatan terus tercipta, meninggalkan ruam merah keunguan di leher jenjang gadisnya.
Saat bibirnya semakin sibuk menjelajah setiap jengkal pahatan indah gadisnya, tangan kekarnya yang sedikit bergetar meraba benda kenyal yang mencuat pada dada gadisnya.
Merasakan setiap sentuhan pada gunung kembar gadisnya yang tampak menggoda, meremasnya dengan perlahan lalu menggerakkan telapak tangannya memutar hingga puncak payudara gadisnya kian mengeras.
Kijoon kembali memberikan kecupan di lekuk leher Jiah dan membiarkan tangannya terus meraba dan meremas payudara Jiah, memainkan kedua puncak payudara itu dengan perlahan lalu meremasnya dengan ritme yang lebih keras.
Kini bibir Kijoon bergerak turun memberikan kecupan-kecupan di kedua payudara Jiah, mengulum puncaknya yang kian mengeras sambil salah satu tangannya sengaja menggoda payudara lainnya.
Permukaan lidahnya yang tak rata itu menyapa puting merah muda yang kian mendamba, membuatnya semakin gencar menggerakkan lidahnya dan sesekali menggigit renggang payudaranya.
Kijoon seperti seorang bayi yang mencari puting ibunya untuk disusui. Tangan kirinya menyangga punggung gadisnya agar semakin masuk kedalam mulutnya, sedangkan tangan kanannya masih setia dengan payudara lainnya tak membiarkan benda kenyal itu menganggur.
Sesekali jari jempol dan telunjuknya aktif memilin putting payudara itu, setelah puas meremasnya.
Siapa sangka, saat puting payudara Jiah masih dalam mulut hangatnya tubuh Jiah berjengit dan lenguhan lolos dari mulut yang terus terkatup membuat Kijoon melepaskan kulumannya.
Kijoon menatap wajah gadisnya yang sedikit memerah. Helaan nafas lega keluar begitu saja dari mulut Kijoon. Senyum cerah mengembang bak sinar Mentari pagi, menatap gadisnya yang mulai merespon.
"Jiah-ya apa kau merasakannya?"
"Syukurlah"
Kemudian Kijoon meninggalkan aktivitas bejatnya untuk mendekap erat tubuh telanjang gadisnya, menyampaikan rasa syukurnya dengan mengecup kening gadisnya dalam.
"Jiah-ya terima kasih dan maafkan aku karena melakukan ini. Tapi kau tenang saja, aku tak akan menyentuh mahkotamu tanpa seizinmu. Aku sudah mati-matian menahan nafsuku untuk tidak menyerangmu—"
"—karena aku terlalu mencintaimu"
Kijoon semakin bersyukur saat mendengar roda mobil yang menepi di pelataran villanya, lantas Kijoon beranjak mengenakan pakaiannya. Kemudian berjalan menuju walk in closet untuk mengambil pakaian untuk Jiah.
Kijoon menatap dokter dan beberapa perawat yang melakukan beberapa tindakan pada tubuh dengan cemas. Kijoon menutup matanya saat jarum menusuk beberapa bagian tubuh gadisnya, mencoba merasakan yang tengah gadisnya rasakan. Jantungnya teremas kuat, banyak hal yang ia sesali kini.
Seandainya ia tak terlalu bodoh. Seandainya ia bisa mengontrol emosinya. Seandainya ia tak perlu merasa cemburu. Seandainya dan seandainya. Banyak kata seandainya yang bergelut dalam pikirannya yang ingin ia hapus dan ingin ia berbaiki.
Kijoon terlalu tenggelam dalam pikirannya, hingga dokter yang menangani Jiah menepuk pundaknya membuat Kijoon terkejut.
"Tekanan darahnya sangat rendah, detak jantungnya sangat lemah dan suhu tubuhnya 29,7 derajat Celsius. Jika terus menurun bisa sangat berbahaya. Untuk saat ini, kami menggunakan cairan IV untuk menghangatkan pasien" ujar dokter setengah baya itu.
"Jika kita menaikkan suhu tubuhnya terlalu cepat, jantungnya akan terbebani" lanjutnya.
"Berapa lama sampai suhu tubuhnya kembali normal?" tanya Kijoon dengan nada panik.
"Setiap orang memiliki respon yang berbeda-beda. Ada yang hanya butuh waktu satu dua hari, ada pula yang membutuhkan waktu berhari-hari"
Kekhawatiran terlihat jelas dari tatapan mata Kijoon, bahkan airmatanya menumpuk dipelupuk matanya.
"Saya bersyukur anda bertindak cepat untuk melakukan pertolongan pertama pada pasien, itu sangat membantu menjaga panas pada tubuhnya"
"Sabarlah, jangan terlalu cemas. Kami akan kembali untuk mengevaluasi kondisi pasien" ungkap dokter tersebut sambil menepuk bahu kanan Kijoon menenangkan sebelum berlalu pergi.
"Terima kasih" ucap Kijoon sambil membungkuk.
Kijoon naik ke sisi ranjang disebelah Jiah, masuk kedalam selimut yang menutupi tubuh gadisnya. Kijoon mendekap tubuh itu dalam pelukannya, tangannya tak henti-hentinya mengusap punggung tangan gadisnya yang masih terasa dingin.
"Terima kasih sudah bertahan" bisik Kijoon ditelinga Jiah, lalu mengecup ringan pipi gadisnya.
"Istirahatlah. Terlalu banyak hal berat yang sudah kau lewati. Selamat tidur" ucapnya sambil mengeratkan dekapannya.
Kijoon memejamkan matanya, menyambut keajaiban yang ia harapkan datang di hari esok. Walau terlihat sulit dan penuh liku, namun satu harapan pasti bahwa ia akan membawa kembali gadisnya seperti dulu.
Memberikan kebahagiaan dan menjadi rumah untuk gadisnya. Menjadi tujuan dan tempat pulangnya. Ia pastikan itu. Seperti janjinya kepada seseorang yang untuk terus menjaga Jiah nya.
Tbc~
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet
RandomCinta, masa lalu dan balas dendam menjadi pupuk dalam pertumbuhan cinta kasih dua anak manusia yang buta akan cinta..