0.8 | Hypocrite

571 151 1
                                    

Hujan turun secara tiba-tiba kala Riki sedang melintas di sepanjang jalan, membuatnya terpaksa menepi untuk berteduh dalam sebuah halte. Jaket dan seragam sekolahnya sudah setengah basah, ia jadi kedinginan.

Riki tak tahu harus melakukan apa, baterai ponselnya habis sehingga ia hanya dapat memandangi rintik air hujan yang jatuh ke atas jalanan, sambil sesekali bersenandung untuk mengusir bosan.

Namun kekosongan yang sejak tadi menyelimuti Riki seketika sirna kala sebuah mobil berhenti di belakang motornya, dan si pengemudi bergegas turun sambil berlari kecil untuk masuk ke halte sebelum diguyur hujan.

"Kak Jake?" Riki nampak terkejut karena kedatangan yang lebih tua. "Lo ngapain di sini?"

"Lo sendiri ngapa—eh, muka lo kenapa?" tanya Jake sambil mendekat ke hadapan Riki, hendak memperhatikan wajah itu dari dekat.

"Apaan sih!" protes Riki sambil mendorong wajah Jake agar menjauh, merasa tak nyaman.

"Muka lo kenapa?" Jake mengulangi pertanyaan yang sama. "Kok bonyok gitu?"

"Tadi berantem di sekolah," jawab Riki seadanya.

"Udah diobatin?"

"Udah kok."

"Tapi yang di sudut mata lo itu, kok kayak luka baru?" Jake menatap lurus pada memar yang nampak lebih berwarna ungu dibanding memar lain pada wajah Riki.

Riki gelagapan, terlihat bingung untuk menjawab. "I–itu tadi lupa diobatin, obat di UKS abis."

"Harusnya lo izin buat beli obat sendiri, takutnya infeksi."

"Gapapa kok, cuma luka kecil."

Jake memutar bola matanya sebal. "Keras kepala, persis bocah tengil yang namanya Nishimura Riki."

Alis Riki berkerut. "Kan itu emang gue?"

"Iya, makanya keras kepala kalo dibilangin," balas Jake sengit. "Anak baru gede emang susah diatur."

"Kita cuma beda tiga tahun, jangan ngomong seolah lo udah hidup puluhan tahun lebih dulu daripada gue deh, Kak."

Jake mendengus pelan, memilih mengalah karena malas melanjutkan perdebatan.

"Ngapain?" tanya Riki, bingung kala Jake tiba-tiba duduk di sampingnya.

"Duduk."

Riki berdecak sebal. "Maksud gue ngapain duduk di sini? Lo bawa mobil, masih bisa lanjut jalan."

"Gue mau nemenin lo, bego."

"Buat apa?"

"Biar nggak bosen sendiri."

"Nggak usah."

"Gue nggak minta persetujuan. Lagian gue capek nyetir, mau istirahat bentar."

Riki mendengus, lalu memalingkan pandang ke depan, menatap hujan yang masih turun dengan deras. Jika terus begini, Riki memperkirakan ia tak akan bisa melanjutkan perjalanan selama beberapa jam ke depan. Hujan sepertinya akan berlangsung cukup lama.

"Lo nggak marah sama gue?" Riki memecah kekosongan di antara dirinya dan Jake.

Jake mengernyit. "Marah kenapa?"

"Soal yang malam itu," ujar Riki, dan Jake dapat langsung mengerti apa yang ia maksud.

"Dibanding marah, gue lebih ke kecewa sih." Jake tertawa hambar. "Bayangin aja, orang yang lo percaya buat jadi tempat cerita, malah nuduh lo yang enggak-enggak karena apa yang lo ceritain di masa lalu."

Riki tak menjawab, kembali membangun kekosongan di antara dua pemuda itu yang hanya diisi oleh suara rintikan air hujan.

"Sorry." Riki kembali buka suara, menarik atensi Jake. "Gue kebawa emosi karena hari itu lo nuduh gue, jadi gue mikir yang enggak-enggak tentang lo, Kak."

Hypocrite | EnhypenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang