Di Tepi Jembatan

982 121 32
                                    

"Kamu ... lagi ngapain di situ?"

"J-jangan dekat-dekat!"

"Kenapa memangnya?"

"Aku ... aku bakalan lompat!"

Gempa baru saja pulang dari tempat kerjanya dengan tas ransel masih setia menempel di punggung ketika ia mendapati seorang pemuda berpegangan erat pada besi penyangga jembatan. Begitu terdengar suara langkah kaki sang brunette, sosok asing itu langsung berbalik menatapnya dengan sepasang mata yang nyaris keluar dari relung masing-masing.

Gempa melangkah hati-hati, begitu pelan, ke samping pemuda itu berdiri. Tahu bahwa setiap ia melangkah maju, pemuda itu akan mengambil satu langkah mundur.

Begitu sampai, ia ikut bertopang dagu di atas besi pembatas, memandangi jalan raya lengang di bawah. Baik jalan maupun jembatan itu memang sepi, terlebih di jam menuju petang begini.

"Rileks. Aku gak bakal gangguin kamu, kok." Suara Gempa seringan angin yang berembus.

Pemuda itu menatapnya penuh selidik, setetes keringat mengalir di keningnya. Membuat kulit kuning langsatnya semakin dingin diterpa udara sore.

"Silakan," Gempa menegaskan, "kalau kamu mau lompat, lompatlah."

"Aku bakalan lompat, kok. Lihat aja!" klaim sosok berkacamata itu.

"Iya, iya."

Manik emas Gempa terfokus pada si pemuda misterius yang mengaku akan segera menjalankan aksinya. Sungguh, Gempa tidak bergerak barang satu sentimeter pun untuk menyentuhnya, tetapi semakin lama semakin tak tahan orang itu dibuatnya.

"Se-setelah dipikir-pikir, aku gak bisa konsen kalau kamu liatin. Jangan lihat!" Pemuda berkacamata memalingkan wajah.

"Iya, iya." Menurut, si pemilik helaian coklat juga mengalihkan pandangan ke arah berlawanan sehingga mata mereka tak bertemu.

Hening, nyaris tidak terasa pergerakan apapun selain gesekan antara dedaunan di pohon-pohon sekitar. Sekurangnya ada dua menit semenjak keheningan canggung itu mulai berlangsung.

"Udah?"

"Diam!"

"Aku hitung sampai sepuluh. Setelah itu, aku gak akan tinggal lagi di dunia ini. Selamat tinggal." Surai biru indigo bergoyang lembut seirama dengan tubuh pemiliknya yang berusaha mengatur napas. Ia mulai menghitung, "Satu, dua, tiga ...."

Deritan antara metal dan kulit yang mencengkeramnya erat terdengar, patah-patah. Sedikit bergoyang ketika tubuh yang lebih kecil dari milik Gempa maju, tapi langsung mundur kembali setelah memperhatikan jarak antara tempat itu ke jalanan di bawah.

"Memangnya apa, sih, yang bikin kamu mau mengakhiri hidupmu begini?" Tak juga terjadi apa-apa, pria yang masih memakai seragam kerjanya bertanya.

"Buat apa kamu nanya? Toh, gak ada gunanya." Nada si pemuda pedas, tetapi balasan yang ia terima sangat berkebalikan.

"Yahhh, hitung-hitung ini saat terakhirmu di dunia. Gak ada salahnya, kan, berbagi sama satu-satunya orang yang akan menyaksikan kematianmu?" Satu langkah kaki berlapis sepatu boots itu mengarah mundur.

Benar saja, semakin ditatap semakin ia ingin meledak dibuatnya. Barang kali menuruti pria ini untuk menjawab pertanyaannya akan berhasil membuatnya pergi dari sana. Maka, selagi masih berpegangan pada besi pembatas, pemuda itu mulai membuka mulut.

"Biasa. Ceritaku hanya cerita menyedihkan paling mainstream yang pernah ada. Orangtuaku membuangku gara-gara aku omega. Hah, jadi yang terendah di antara kalian semua dan mengkhawatirkan setiap hari akan jadi target manusia-manusia buas. Seperti kalian. Oi, kau ini alpha, kan?"

Di Tepi Jembatan (GemFang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang