Bab 22

15.3K 1.5K 33
                                    

Dari kecil aku tidak terbiasa membantah orang tua. Apalagi ibu. Mungkin karena dari kecil aku sudah biasa menyaksikan ibuku yang bekerja keras untuk keluargaku sehingga aku tidak tega harus menambah beban pikirannya. Ayahku meninggal ketika aku kelas enam SD. Tetapi dua tahun sebelumnya ayahku sakit-sakitan sehingga aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana perjuangan ibu untuk mengurus rumah tangga, aku dan kakak-kakakku, mendampingi ayah yang sering keluar masuk rumah sakit, dan memenuhi kewajibannya sebagai seorang guru di sebuah Sekolah Dasar di kotaku.

Ketika menerima raport dan hanya mendapat ranking tiga, empat atau lima, tidak akan ada omelan dari ibuku. Namun, helaan nafas dan tatapan kecewanya ketika melihat raportku, aku mengerti kalau ibuku sangat kecewa. Meskipun pada akhirnya beliau tersenyum dan mengatakan terima kasih karena nilaiku bagus, tetapi itu sudah cukup menjadi cambuk bagiku untuk lebih giat lagi belajar hingga bosa memperoleh ranking satu. Hal tersebut berlanjut hingga SMP. Begitu SMA aku merasa kesulitan untuk menjadi ranking satu di sekolah. Masuk sepuluh besar adalah prestasi terbaikku di SMA. Ibu tahu kesulitanku itu, beliaupun mengatakan tidak perlu harus ranking satu yang penting aku bisa masuk PTN agar biaya kuliah terjangkau. Untuk itu aku berjuang sangat keras untuk masuk PTN sesuai keinginan ibuku.

Semuanya aku lakukan untuk menyenangkan ibuku. Wanita yang pantang menyerah dan selalu berusaha menjadi yang terbaik untuk anak-anaknya. Mungkin dengan latar belakangku yang demikian aku menjadi orang yang selalu berusaha berada di zona nyaman. Aku tidak suka membuat konflik dengan orang lain. Aku tidak suka membuat masalah. Aku selalu berusaha membuat orang lain tidak kecewa dengan kehadiranku. Dan aku adalah seorang pengecut yang tidak berani melawan apabila ada orang yang tidak suka kepadaku. Maka ketika dua minggu ini aku merasa Mama menghindariku, aku tahu kalau beliau marah padaku dan itu membuatku menjadi merasa bersalah.

Aku tahu kalau Mas Krisna sudah mengatakan hubungan kami padanya. Dan seperti kuduga, Mama tidak menyetujuinya sama sekali. Namun, Mas Krisna menenangkanku.

"Tidak perlu dipikirkan, Karin, kita pelan-pelan saja. Aku yakin Mama lambat laun akan luluh. Yang penting kamu percaya padaku untuk menyelesaikan semua ini." Begitu selalu yang dikatakannya padaku. Padahal siapa yang terburu-buru coba. Bukankah dia yang terburu-buru mengatakan hubungan kami padahal situasi juga belum mendukung karena Papa baru saja sembuh.

Dua minggu ini aku betul-betul tidak berani muncul di hadapan Mama. Aku tidak berani datang ke rumah Mama. Aku tahu kalau aku sangat mengecewakannya, makanya tidak sanggup menatap wajahnya.

Namun, hari ini aku tidak bisa menghindarinya lagi. Pagi tadi Mbak Ratih mampir ke rumah dan mengambil Er untuk dibawa ke rumah Mama. Dia menyuruhku datang ke sana pukul sembilan untuk membantu membuat kue karena hari Minggu ada acara keluarga di rumah Mama. Dan aku juga diminta untuk membuat Soto Sokaraja sebagai salah satu menu makan siang hari Minggu besok. Aku heran mengapa tidak pesan saja semuanya. Biasanya Mama orangnya sangat praktis dan tidak mau repot-repot memasak. Ini pasti keinginan Mbak Ratih sendiri, Akhir-akhir ini dia memang gemar sekali memasak dan mencoba berbagai resep masakan.

Aku berjalan kaki menuju rumah Mama. Sampai di sana sepi. Mobil tidak ada satupun yang di rumah. Mas Krisna dan Papa kalau Sabtu memang tetap bekerja di kantor konsultannya. Yang membuatku tenang mobil Mama juga tidak ada. Ah, paling tidak aku bisa bernafas lega sementara karena tidak langsung bertemu Mama.

Aku mengucapkan salam sebelum masuk ke dalam rumah. Tidak ada sahutan tetapi pintu depan tidak dikunci. Aku pun masuk ke dalam. Ruang keluarga juga sepi. Pada kemana ini orang. Er pun juga tidak ada. Aku langsung menuju belakang. Kulihat Mbok Nah sedang mencuci Loyang-loyang dan beberapa cetakan kue.

"Kok sepi, Mbok?" sapaku

"Eh, Mbak Karin. Iya. Lagi pada ke supermarket, Mbak. Ibu dan Mbak Ratih. Rasti juga ikut karena jagain Mas Er."

Ketika Cinta Tak Mengenal Basa-basiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang