Dapatkah kita mengiba pada ibu yang kian berduka?
Membelai anak semata wayangnya ia tertatih-tatih mengendus pilu
Melampaui cahya malam yang memeluk rindu para manusia
Ia berduka menebarkan benih pilu di ruang sendu
Apabila tak seorangpun yang hendak menganggu di kalang kelu
Ia mengais seonggok, bukan, secuil derita nan perih
Dibalutnya derita itu penuh sandiwara belaka, di belakang panggung ia menyenandungkan
Beberapa bait puisi tiada para manusia itu mengganggu
Ia meratapi sepenggal, lalu berjamu menemukan dahaga yang hilang
Ia berkali-kali mendeklamasikan aksi heroik, menggemai seantero ruangan
Ia bersila, melangkahkan tumit rentanya; tak sanggup ia berlari menuju deretan kursi kosong
Drama tanpa suara kembali tersiar, ya ia benar-benar seorang ibu yang kehilangan
Dimanakah anak semata wayangnya kini? Ia bertaut oleh sekilas memori masa silam
Di luar ruangan, tampak seseorang meratapi getirnya paduan keluh
Sekelebat bayangan penuh amarah ia lampiaskan ke ruangan tak bertuan itu
Wahai anak gadisku, ada apakah gerangan dikau ke mari?
Apakah Ananda tahu? Bahwa ibu, ibu yang telah membesarkanmu....
Ah tiada seorangpun yang peduli! Kesabaran ibu wahai Ananda, sudah kering setengah mati!
Alhasil deretan kursi tanpa emosi itu seakan bersaksi
Paduan antara kedua insan, telah habis termakan kesunyian malam
Ya, begitulah kisah para penyamun malam
KAMU SEDANG MEMBACA
Klise: Antologi Puisi
PoetryBawalah rangkaian parafrase terbang menuju lapisan nurani terdalam.