#1

47 4 4
                                    

Aku masih duduk di bangku tunggu. Menghitung detik dan lalu-lalang manusia yang sibuk dengan dunia dan egonya masing-masing. Berjanji pada diri sendiri, jika dalam hitungan ketiga kau tidak juga datang maka aku akan pergi. Tetapi nyatanya aku masih disini, menunggu tanpa tahu malu dan tak kenal waktu .

Jani, ingatlah aku tidak akan menyalahkan mu jika kau memilih untuk tidak datang, aku paham bagaimana luka dan keadaanmu sekarang. Aku sangat paham karena luka yang bersarang di dadamu adalah hasil perbuatanku yang naif dan tidak tahu diri. Bukankah begitu Jani?

Izinkan aku bercerita tentangmu, Jani. Agar dunia tahu bahwa kau tidak bersalah sama sekali jika mengabaikanku. Izinkan aku bercerita tentangmu. Agar dunia tahu bahwa aku begitu menyesali perbuatanku sendiri. Aku tahu, ini sangat terlambat untukmu, permintaan maaf atas ketololanku tempo hari itu. Aku takkan pernah memaksamu memaafkan aku Jani. Aku hanya ingin kau mendengar ceritaku , supaya kau tahu bagaimana aku memandangmu, supaya kau tahu bagaimana aku kepadamu.

Rasanya aku tak pernah menyangka bahwa akan ada seorang perempuan yang mau menjadi teman baik ku. Dan kau tau, dikala kita saling bertemu untuk sarapan pagi di pojok kota itu. Sayangnya meski aku mencintaimu aku lebih memilih untuk membisu dan mematung dihadapanmu. Aku tak tahu harus menjawab apa, tak tahu harus mengekspresi macam apa, walau sebenarnya aku begitu mengagumimu.

Kau perempuan yang berani, Jani, lebih berani dari perempuan manapun yang kukenal lebih berani dari lelaki lemah sepertiku yang tak pernah mau mengakui apa lagi menyatakan perasaannya secara langsung. Manusia yang lemah adalah mereka yang tidak dapat jujur pada dirinya sendiri. Wajahmu memerah dan mata bintangmu yang selalu terlihat cantik mendadak jadi tajam serta membuat gemetar siapapun yang memandang nya. Kalau boleh jujur Jani, aku sebenarnya agak tersindir mendengar ucapanmu itu, sebab aku termasuk kedalam manusia yang kau sebut lemah. Aku tidak pernah bisa jujur pada diriku, pada perasaanku apalagi pada dirimu. Dan aku malu mengakui hal itu.

Teman-teman pernah bilang bahwa dicintai dan mencintai gadis sepertimu bisa saja menjadi sesuatu yang berbahaya sekaligus indah. Bagi orang yang mengenal dan mengetahui pencapaian-pencapaian hidupmu, tak ada alasan untuk tidak menghormati dan mengagumi, tidak hanya sebagai perempuan, tetapi sebagai manusia. Aku yakin kau tak pernah mengetahui bagaimana dunia memandangmu, karena kau terlalu sibuk menerka-nerka dan mengamini berbagai asumsi di kepalamu sendiri.

Keberanianmu yang membanggakan itu membuatku merasa bahwa aku tak cukup baik untuk perempuan sehebat kamu, Jani. Lihatlah ke cermin! Lihatlah dirimu ! Berkilau dan indah dengan pesona yang kau ciptakan sendiri. Aku yakin kau tak memerlukan tambahan bedak atau parfum macam apapun untuk terlihat cantik dan menarik agar lelaki jatuh cinta padamu. Karena apa adanya kamu pun sudah sangat menarik perhatian. Kau tidak pernah menyembunyikan dirimu. Di zaman sekarang ini, sulit sekali mencari apalagi menjadi pribadi yang otentik seperti dirimu, yang berani berpikir dan bertindak secara merdeka berdasarkan nurani dan akal pikiran yang menolak untuk meleburkan dan melekatkan diri dalam identitas kolektif, yang menolak didikte oleh apapun atau siapapun selain nurani.

Lalu, aku jadi ingat karena pernah menulis "Aku ingin jatuh hati pada cara berpikir, bukan pada parasmu yang rupawan atau pada caramu memberi perhatian." Membaca itu membuatku jadi bertanya-tanya, apakah kau bisa jatuh hati pada lelaki sepertikuu yang tidak otentik dan pemikirannya tak secemerlang dirimu? Aku selalu menjadi bagian orang-orang yang mengikuti arus, memiliki kemelekatan yang sangat erat apa yang kau sebut sebagai candu sosial. Tidaklah kau kelak akan malu jika bersanding denganku? Taka da kualitas dalam diriku yang bisa kau banggakan pada dunia, selain kualitas bawa aku bisa jadi manusia paling santai dan malas dibanding siapapun.

Hal itu semakin membuatku yakin bahwa aku memang tak pantas bersanding denganmu. Aku minder. Perempuan secantik dan sehebat dirimu akan jauh lebih pantas jika berada pada sisi lelaki yang cerdas dan pemberani. Bukan karena aku tidak mencintaimu, Jani. Bukan itu alasannya. Aku hanya merasa bahwa aku tidak akan bisa membahagiakanmu. Sebagai laki, kekhawatiran semacam pasti terjadi. Iya, kekhawatiran tidak bisa membahagiakan perempuan yang dicintainya. Aku tahu kau akan berkata bahwa aku adalah lelaki yang rapuh karena memilih mundur hanya karena kekhawatir tak berdasar yang dimilikinya, ya, memilih mundur daripada berjuang lebih keras lagi. Tapi tak apa Jani, kubakui bahwa diriku memang benar- benar rapuh .

Aku ingat ketika kau mengatakan, "Kau tahu kan? Kita akan sama-sama terluka. Aku terluka karena keangkuhanmu dan kau akan terluka karenaegomu sendiri". Tetapi barangkali kau tidak akan tahu, bahwa luka yang kuterima karena egoku sendiri akan cukup lama bersarang di dadaku lebih lama dari luka-luka yang kau terima karena keangkuhanku. Kau lagi-lagi menambahkan "Mungkin kali ini hatiku memang salah memilih." Setelah ucapanmu itu, aku memutuskan untuk pamit lebih dulu. Menangis sepanjang perjalanan pulang sambil meyakinkan diri bahwa memang ini yang terbaik untuk kita.

Jadi begitulah, Jani. Aku menyukaimu dan melukaiku pula. Semua ini terjadi karena aku begitu pengecut dan tidak mampu bersikap dewasa. Takdir tak berperan banyak dalam kisah kita, yang memegang peranan justru kita atau mungkin hanya aku. Aku akan menunggumu di sini di tempat yang sama ketika kita pertama bertemu. Aku masih berharap kau datang. Aku masih berharap kau memberiku kesempatan. Aku masih berharap kau akan meninggalkan kekasih mu yang sekarang dan kembali mencintaiku. Jani, aku sudah jauh lebih baik dan siap sekarang Aku tak ingin melepasmu. Aku tak ingin benar-benar kehilanganmu.

Tetapi yang datang justru hanya pesan singkat darimu bertuliskan "Kau tahu apa yang akan tersisa dari cinta selain luka?" Dahiku mengerut tanda aku berpikir, dengan agak ragu kujawab pesanmu dengan menulis "Barangkali duka lara yang tak ada habisnya". Butuh waktu 5 menit untuk mendapat balasanmu yang pada akhirnya aku pahami sebagai jawaban bahwa kau tidak akan pernah datang dan menemuiku lagi sekarang. Kumatikan ponsel yang masih menampilkan percakapan kita, pada balasan terakhirmu kau menulis "Yang tersisa dari cinta selain luka adalah sesal."

Aku berhenti menunggu, mungkin juga akan mulai berhenti berharap. Tetapi lagi-lagi aku menangis sepanjang perjalanan pulang. Entah kali ini menangisi apa. Barangkali cinta yang hilang, luka yang dalam, atau hal yang disebutkan Jani; penyesalan yang datang. Tapi, sungguh, tak apa, Jani. Aku akan mendoakan kau berbahagia dengan kekasihmu yang sekarang. Sebab tak ada lagi yang bisa kulakukan untuk membahagiakanmu sekarang, selain melepas dan mengikhlaskan apa apa yang telah membiarkan hilang.

Selamat tinggal, Jani. Maaf aku terlambat sadar.

MaafWhere stories live. Discover now