Gamma

5 2 0
                                    

Jakarta, 2020.

Tidak banyak pengunjung cafe yang duduk sambil membuka laptop dan bekerja seperti Enda serta Aditi. Meski berhadapan, keduanya tak banyak bicara selagi mengetik dan memikirkan banyak hal tentang tugas masing-masing.

"Tammi belum menelepon?" tanya Aditi ketika dirasa pekerjaannya hampir selesai.

"Dia masih sibuk dengan target di kantornya. Nun tidak memberinya ruang yang cukup selama jam kerja. Tahu sendiri, waktu senggangnya digunakan untuk berdiskusi bersama Bima," sahut Enda yang masih berusaha fokus mengetik beberapa code tambahan agar programnya berjalan dengan baik. Ini revisi aplikasi ketiga kalinya, si client sangat pemilih dan tidak punya rancangan. Hanya menyerahkan semua urusan pada perusahaan, begitu bagian awal jadi, kritikan semakin menjadi. Meski kesal Enda tetap saja menerima permintaan yang cukup menyebalkan itu.

"Hari ini traktir aku ya. Kamu sudah gajian, kan?"

Enda berhenti mengetik. Lantas mengecek saldo rekeningnya di internet-banking. Saat dia memasukkan password, panggilan Tammi membuatnya menahan nafas agar tidak meledak marahnya. Disodorkannya ponsel tersebut pada Aditi, codenya menanti diselesaikan.

Aditi segera menerima dan menutup laptopnya.

"Gimana Tam?"

"Aku ingin berhenti. Orderan Nun tidak pernah usai, padahal ini hampir jam makan siang," keluh Tammi di seberang sana

"Nikmatilah bersama Nun. Akhir pekan sempatkan menutup toko, biarkan admin stand by."

"Btw, aku adminnya!" teriak Tammi frustasi.

Aditi hanya menjawab dengan tertawa, rasanya puas mengerjai Tammi yang sedang mengeluh panjang pendek di sana.

"Kalau begitu bersyukurlah selagi mendapat banyak keuntungan. Kita tidak tahu bagaimana pandemi ini akan bertingkah di Indonesia. Btw, aku dan Enda hanya sesekali saja kerja di kantor. Bahkan aku tidak yakin selanjutnya masih bisa nongkrong di cafe atau nggak."

"Baiklah nona bijak, aku akan menerima semua beban negara ini dengan khidmat," canda Tammi, tapi helaan nafasnya masih terdengar kesal.

"Mau cerita apa? Kayaknya keluhan soal Nun sudah biasa," ucap Aditi.

"Ah ya, aku akan berhenti berdiskusi dengan Bima."

"Kenapa? Toh itu menambah pengetahuan dan kesempatan bertukar pengalaman." Aditi berusaha mengajak bicara Enda, tapi malah mendapat lambaian tangan yang menandakan dia belum selesai.

"Di sini yang terus mencari topik hanya aku. Itu menandakan cuma aku yang sangat berusaha untuk tetap disampingnya."

"Memang dari dulu Bima orang yang seperti itu?"

Lagi-lagi Tammi menghela nafas dengan berat. Ada sesuatu yang cukup membuatnya tertekan. "Dulu dia yang mencari cara agar kami punya banyak hal untuk dibicarakan. Tapi sejak putus, aku yang bingung karena hampir banyak hal sudah kami diskusikan."

"Kalau kamu capek, gak usah diteruskan. Ajak diskusi saat kamu memang butuh bercerita, bukan saat kamu merindukan masa lalu," ucap Aditi, dia pun mengaminkan dalam hati.

"Ada apa?" bisik Enda dengan bahasa isyarat yang beruntungnya Aditi mengerti.

"Nanti aku ceritakan." Aditi membalas dengan gerakan mulut.

Terdengar suara isakan di seberang sana. "Memangnya sudah boleh istirahat?" tanya Aditi berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Siapa peduli, rinduku sudah keterlaluan!"

Aditi yakin, Nun dan karyawan lain sedang tidak berada di sana. Atau kondisi lainnya, Tammi sudah menemukan tempat menyendiri ter-aman menurutnya, sehingga dia bisa leluasa menangis.

"Aku tutup dulu ya, gak nyaman nangis sambil telponan," ucap Tammi dengan sesegukan.

Lantas panggilan tersebut putus begitu saja. Aditi mengembalikan ponsel Enda dengan menaruhnya di dekat kopi pesanan mereka.

"Ada apa lagi?" tanya Enda yang sudah duduk santai mencoba aplikasi barunya.

"Masih tentang Bima," sahut Aditi lemah.

Keduanya sama terdiam. Bima dan Tammi telah bersama sejak masuk SMA, putus, lalu berteman baik. Bima tidak pernah mengatakan alasannya tidak lagi berpacaran dengan Tammi. Sedangkan Tammi seperti pihak paling menyesal karena memutuskan Bima begitu saja ketika dia sedang di puncak amarah. Ada yang bilang, laki-laki yang bertahan di samping kita selama ini hanya terdiri dari empat jenis. Bapak, saudara laki-laki, si laki-laki suka sama si perempuan, si laki-laki ngondek! Cuma nomer tiga yang memungkinkan bagi Bima. Tapi siapa yang tahu isi hati manusia?

"Enda kan ya?" tiba-tiba seorang perempuan menyapa Enda.

Enda langsung bingung. Selama ini dia sudah berusaha jadi warga yang anti sociaty. Bahkan kebiasaan menggunakan aplikasi barunya, dia menemukan cara lebih efisien dan tak terlacak sistem keamanan.

"Eh iya," sahut Enda, dia ragu pernah bertemu perempuan berjaket mustard tersebut.

"Les bahasa Korea, tahun dua ribu sebelas," jelas perempuan tersebut.

"Sari?" tebak Enda makin ragu.

Sari yang tadinya berdiri di tempat yang agak jauh dari mereka mulai mendekat. "Gimana kabarnya?"

"Beneran Sari?" Enda masih memastikan.

"Sebentar, aku pesan kopi sama cemilan dulu." Lantas Sari pun berlalu begitu saja.

"Sari siapa?" Aditi tidak bisa menyembunyikan penasarannya.

"Teman kursus bahasa Korea beberapa tahun lalu. Gak nyangka bakal ketemu lagi di sini," jelas Enda.

Beberapa menit kemudian Sari datang dengan sebuah nampan berisi teh dan cemilan. "Hai," sapanya pada Aditi.

Lantas mereka mulai akrab, menyisakan Enda yang kembali sibuk menyempurnakan codenya. Ada beberapa baris tersembunyi yang kedapatan tidak teliti direvisi.

"Kamu bekerja apa selama di Jakarta, kalau boleh tahu."

Sari menghentikan kunyahannya. "Aku seorang penerjemah tersumpah."

"Menterjemahkan untuk buku berbahasa apa?"

"Untuk saat ini, aku baru mengajukan buku berbahasa Inggris, Korea, Jepang, Mandarin, Thamil, Arab, dan Jeman," terang Sari.

"Kamu seorang polyglot?" Kali ini Enda yang menebak.

Sari mengacungkan dua ibu jarinya ke arah Enda. "Lumayan, uang lebih mudah di dapat."

Aditi hanya mengangguk-angguk takjub. Baru kali ini dia bertemu ahli berbagai bahasa secara langsung. Pakaiannya sederhana, tapi isi kepalanya cerdas.

--------------

Kamera sudah on semua. Layar juga sudah direkam. Sari sibuk menyeleksi orang-orang yang akan dia ajak membuat konten di aplikasi OmeTV. Meski mayoritas penggunanya orang Rusia, tapi orang-orang Eropa juga ada, bila disimpulkan.

"Hai," sapa seseorang di seberang. Wajahnya bersih, tidak ada bekas jerawat.

"Hi," balas Sari.

Lantas mereka mengobrol banyak hal. Tidak terasa canda dan tawa itu membuat keduanya justru makin erat.

Setelah dirasa cukup, Sari pamitan dari orang tersebut. Keduanya sudah mempunyai email masing-masing untuk saling menghubungi. 'Siapa yang peduli kami berkomunikasi dengan bahasa apa saja, bertingkat seperti orang asing yang bagaimana' batin Sari seraya meraih teh hangat yang tadi sempat diacuhkan.

Pada slide ke sekian, Sari bertemu seorang laki-laki yang bertampang baik, sopan dan ramah.

"Apakah kamu punya sesuatu yang menonjol di bagian dada."

Skip.

"Jujur tapi tidak sopan!" komentar Sari.

Kalau bukan karena cuan, membuka channel youtube sendiri adalah mimpi buruk bagi Sari. Dia terbiasa menyendiri dan berharap tidak perlu bersosialisasi. Tapi kebutuhan semakin mendesak dan penuh kerja keras.

--------------

Bersambung ...

Like, komen, dan share status ini ya untuk mendapat novel gratis.

PEJUANG VIRTUALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang