“Kamu hanya memiliki dua sahabat. Yang menampar membuat sadar, dan yang membelai membuat lalai.”
***
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam!” Laiba menjawab dengan lantang. Tak lama, Farikha masuk dengan senyuman. Gadis itu ikut duduk di samping sahabatnya. Melihat Laiba tengah memakan sesuatu, Farikha ikut mencomot.
“Ibu ke pasar?” Laiba menggeleng. “Ini dapat dari teman.”
“Siapa?”
“Kang Adnan. Beliau temannya Mbak Shafa juga. Hari lalu datang dan memberiku ini.”
Farikha berhenti mengunyah. Melalui tatapan yang dilayangkannya, Laiba mengerti.
“Kami sering bertukar pesan lewat aplikasi. Jadi, ya lebih dekat.”
“Laiba, jangan mudah bergaul dengan lelaki non-mahram!” tegas Farikha. Selama ini, gadis bijak itu yang terus membuat jalannya lurus. Laiba manusia yang imannya naik-turun. Tentu, ia membutuhkan seorang sahabat yang bantu mengingatkannya kepada kebaikan.
Seperti yang terdapat dalam kitab Alala, dijelaskan bahwa, jika ada seseorang yang buruk (sikap dan perilakunya), maka segera jauhi secepatnya. Jika ada seseorang yang baik (sikap dan perilakunya), maka bertemanlah dengannya, niscaya engkau akan memperoleh petunjuk.
Sejatinya, makna sahabat itu ialah mereka yang menggenggam erat tangan kita, menuntun, bahkan melangkah bersama menuju ketakwaan.
“Kamu sudah pengalaman berteman dengan Kang Rashya. Ujung-ujungnya kalian saling memiliki rasa—“
“Kali ini beda, Fa. Aku tidak menyukai Kang Adnan,” potong Laiba.
“Jika bukan kamu yang menyukainya, dia bisa. Laiba, kamu patah hati karena tidak bisa bersama dengan orang yang kamu cintai. Maka, dia juga bisa merasakannya ketika kamu menolak.”
“Dengarkan aku! Kalau kamu belum sanggup membuka hati lagi, tahan. Jangan beri akses kepada laki-laki sehingga mereka bisa masuk.”
“Lalu, bagaimana aku mengakhirinya? Tiba-tiba menghilang, atau berpamitan?” tanya Laiba. Jujur, kehadiran Adnan benar-benar membuatnya nyaman. Meski seperti yang dikatakannya barusan, ia tidak mungkin secepat itu mempunyai perasaan.
“Jika Kang Adnan adalah lelaki beriman. Tentu dia tahu, bahwa berlama-lama menjalin hubungan seperti itu tidaklah baik. Coba pelan-pelan kamu ingatkan, bahwa melalui sebuah pesan pun bisa timbul perasaan. Ada tipu daya setan di dalamnya. Mungkin dengan dalih Islami, tetapi tetap saja, akan timbul pesan berisikan perhatian bahkan lebih dari itu.”
“Laiba, tidak akan menikahimu lelaki yang setiap malamnya bertanya sedang apa melalui sebuah pesan. Bukan pula lelaki yang setiap malamnya memberikan gombalan melalui sambungan telepon. Kamu harus tahu, bahwa yang akan menikahimu adalah lelaki yang menyimpan cintanya dalam hati dan mengungkapkannya saat malam setelah halal.”
“Mengapa kamu bisa berpikir sejauh itu?” Laiba menunduk—merasa malu. Ia sebagai pengajar TPQ tidak pernah sejauh itu berpikir mengenai hubungannya dengan seorang lelaki. Masih belum bisa membatasi diri dan belum mampu memagari hati. Laiba mengaku sering terbawa perasaan lantaran sebuah pesan.
“Mana ponselmu? Aku bisa membantu.”
Laiba beranjak ke kamar mengambil ponsel. Diserahkannya benda persegi tersebut ke Farikha. Selama gadis itu mengetik, Laiba terus menunduk. Merasa tidak enak hati, namun itulah yang terbaik.
“Kebetulan Kang Adnan ngirim pesan!” seru Farikha kegirangan. Sepertinya, gadis itu belum selesai mengetik dan keduluan oleh Adnan.
“Kang, Maaf, ya, mungkin ini yang terakhir kali kita bertukar pesan.” Farikha bergumam membaca pesannya.
“Kenapa? Kang Adnan tanya begitu,” ujar Farikha memberitahu Laiba.
“Sepertinya Kang Adnan pun tahu, bahwa yang dilakukan ini tidaklah baik. Bertukar pesan juga bisa menimbulkan fitnah, kan? Selama tidak ada ikatan apa pun di antara kita, maka yang haram tetap haram!”
Laiba memeluk Farikha. “Terima kasih.”
“Jika Kang Adnan melamarmu, bagaimana?” tanya Farikha hati-hati.
Laiba menggeleng. “Itu tidak mungkin.”
“Jika mungkin? Wanita memang berhak menolak, tapi ketika yang datang padamu adalah lelaki beriman, maka kamu rugi bila menolaknya.”
“Apabila ada orang yang kalian ridai agama dan akhlaknya datang kepada kalian untuk melamar, maka nikahkanlah ia. Jika kalian tidak lakukan, akan terjadi cobaan di bumi dan kerusakan yang besar.”
(HR. Abu Hurairah).
***
Huek!
Merupakan muntahan Shafa yang ke sekian. Di belakangnya, sang suami dengan setia memijit tengkuk agar sang istri mengeluarkan semuanya. Shafa bersandar di dada bidang Arashya. Tubuhnya melemas setelah kurang lebih setengah jam muntah-muntah.
“Sudah berapa minggu telatnya?”
“Hm?” Shafa mengernyit. Lekas menggeleng pelan sembari menyentuh lengan sang suami.
“Mas ...,” panggilnya lirih. Shafa tidak ingin berangan-angan. Takut tidak sesuai harapan.
Seolah mengerti yang ada dalam benak sang istri, Arashya tersenyum dan mengelus pundak wanita cantik itu pelan.
“Jangan takut bila ekspektasimu tidak sesuai, Dik. Kadang kala, ekspektasi itu Allah runtuhkan supaya kamu bisa belajar menurunkan ego dan angan. Karena segala sesuatu yang kamu mau, belum tentu yang terbaik menurut-Nya. Ringkasnya, kamu boleh berangan tapi tidak melampaui apa yang sudah Allah tentukan. Jika tidak sesuai, ya ikhlaskan. Jangan memaksakan.”
Shafa mengangguk. Detik berikutnya ia kembali menunduk mengeluarkan isi perut. Mendengar orang muntah, Afidah datang menghampiri keduanya. Pintu kamar mandi yang dibiarkan terbuka membuat Afidah segera melengos masuk.
“Mungkinkah Dik Shafa hamil, Bu?” tanya Arashya. Afidah diam.
“Telatnya berapa hari, Mbak? Ibu justru mikirnya kamu kena thypus. Coba, Kang. Ingat-ingat, waktu di sawah istrimu makan apa? Bersih, enggak?”
“Em, mungkinkah karena kami cuci tangan di sungai?”
Afidah mendelik. “Kenapa tidak gunakan sendok.”
“Shafa yang mau, Bu. Lebih nikmat makan pakai tangan.” Tubuhnya terasa sangat lemas. Gadis itu sudah pucat. Shafa minta dipapah oleh Arashya menuju kamar. Sedangkan Afidah mengekori dari belakang.
Tubuh lemah Shafa direbahkan. Afidah gegas duduk di sisinya. Arashya bahkan melongo dan masih berdiri tegak.
“Untuk ukuran tubuhmu yang lemah, biasanya dalam kurun waktu tiga hari saja sudah bisa terinfeksi. Dilihat dari gejala, itu sudah membuat Ibu takut. Tubuhmu lemas dan kamu muntah-muntah. Ibu tidak sejauh itu berpikir kamu telah hamil.”
“Kang, besok carikan cacing di sawah yang banyak!”
“Untuk apa, Bu?”
“Orang desa selalu percaya kalau mengobati thypus menggunakan cacing yang ditumbuk jadi bubuk seperti kopi. Nanti bisa diminum.”
Shafa memberi kode kepada Arashya agar menolak. Wallahi, Shafa jijik membayangkan hewan tanpa kaki itu bila sampai memasuki tubuhnya. Lagi pula, zaman sudah modern, Shafa bisa diperiksa ke fasilitas kesehatan terdekat dan mendapatkan obat.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
LAIBA ARASHYA (Selesai)
Romance"Tidak semua yang pertama menjadi pasangan surga. Karena sebagian di antaranya, yang kedua menjadi terakhir." *** Menjadi orang dekat dalam hidup Mahreen Shafana Almahyra-putri ustaz yang penyakitan. Arashya terpaksa menikahinya setelah Laiba mengan...