Prolog

2.9K 251 3
                                    

"Kak pria itu siapa? Kenapa dia membuat mama kita menangis?" tanya Liliana kecil kepada Aldrick, sekembalinya mereka dari memberi makan ikan.

"Ssst ... jangan berisik. Ayo kita cari tahu." Aldrick lalu menarik tangan Liliana untuk bersembunyi di sudut buffet yang membelah ruangan depan dengan ruang tengah-tempat keduanya berada. Dari sana mereka bisa mencuri dengar pembicaraan kedua orang tua mereka bersama pria asing itu.

"Apa buktinya jika Anda tidak sedang membohongi kami?" Fellicia bangun dari duduknya sebelum melipat kedua lengannya, berusaha terlihat kuat meski kabar yang baru saja ia dapat membuat seluruh persendiannya bergetar.

Pria asing itu menatap Regan yang sejak tadi hanya bungkam. "Anda bisa tanyakan itu pada suami Anda," sahutnya mantap sebelum menerawang. "Dua tahun lalu saya pernah menemui suami Anda untuk mengabarkan soal ini."

Penuturan pria itu seakan meninju keras dada Fellicia. Dengan spontan ia menoleh ke suaminya yang tanpa bantahan dan malah menundukkan pandangan, seakan menegaskan jika yang pria itu katakan memang benar adanya.

"Be-benarkah itu...."

Sembari terus menunduk, Regan berbicara. "Aku hanya sedang mencari waktu yang tepat untuk memberitahukanmu soal ini."

Fellicia menggeleng dengan tatapan yang tidak lagi terarah. "Tidak ... itu tidak mungkin! Jangan harap aku akan percaya dengan kekonyolan ini. Pergi, pergi kamu dari rumahku!" usirnya keras pada pria itu.

Regan berdiri, lalu menggenggam kedua bahu istrinya. "Fel, istrinya sedang sakit."

"Lalu kenapa jika istrinya sakit? Apa hubungannya dengan ia ingin membawa Lily kita pergi?" sentak Fellicia dengan matanya yang menyala-nyala.

Sesaat Regan terbungkam, hatinya terasa nyeri menyaksikan sang istri yang tampak begitu terpukul mendapati kenyataan ini.

"Maafkan saya Nyonya, tapi Lily adalah anak kami. Terlepas dari Anda yang telah merawatnya selama ini, tapi tetap saja sebagai orang tua kandung Lily, kami jauh lebih berhak dari pada Anda."

"Omong kosong! Lily adalah putriku. Dan kau tidak berhak mengakuinya sebagai anak kalian," jerit Fellicia. Setetes air mata jatuh yang langsung di sekanya dengan cepat.

"Putri Anda sudah meninggal Nyonya. Dua tahun lalu, kami sendiri yang menguburkan jenazahnya. Maaf saya terpaksa mengatakannya. Anda harus menerima kenyataan ini, Nyonya."

"A-apa ... meninggal?" Suara Fellicia tersekat lantaran banyaknya kabar mengejutkan yang ia dengar di hari ini.

Sementara Regan hanya bisa memejam, tanpa sanggup melihat reaksi sang istri.

Dua tahun lalu, kabar kematian Safira--putri kandung mereka--sebenarnya sudah Regan ketahui. Pria itu mendatanginya satu bulan setelah Safira tiada, memaparkan kebenaran yang mengejutkan di depan mata. Saat itu reaksi Regan pun tak kalah syoknya seperti yang istrinya itu alami saat ini. Apalagi setelah melakukan penyelidikan, memang benar ada kesalahan yang tanpa sengaja telah di lakukan oleh perawat yang berjaga di rumah sakit tempat Fellicia dan istri pria itu melahirkan. Sehingga terjadilah peristiwa di luar nalar itu. Entah bagaimana caranya identitas putri mereka bisa tertukar di hari kelahiran keduanya? Sampai detik ini, Regan bahkan tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi. Andai tes itu tidak menunjukkan adanya kecocokan DNA pria itu dengan rambut Liliana yang berhasil Regan ambil diam-diam, mungkin dirinya tidak akan percaya. Namun Regan masih belum mampu menceritakannya pada Fellicia, ia sudah menduga jika istrinya akan bereaksi seperti ini.

"Ya Nyonya, kami memberinya nama Safira. Dia sakit keras berbulan-bulan lamanya, segala pengobatan telah berusaha kami lakukan. Tapi nyawanya tetap tidak tertolong. Dan kepergian Safira membuat istriku terpuruk hingga sering sakit-sakitan dua tahun ini...."

"Cukup, aku nggak mau dengar lagi. Pergi! Pergi Anda dari rumah saya!"

Ketika menyaksikan reaksi Fellicia yang begitu histeris, Regan langsung mendekap istrinya. Berusaha menenangkan sang istri yang semakin tidak terkendali.

"Usir dia dari rumah kita, Regan. Aku mohon, jangan biarkan dia membawa Lily kita."

Sementara di tempat persembunyiannya, Liliana sudah gemetaran dengan air mata yang sudah berjatuhan di wajah.

"Kak, kenapa orang mengatakan aku bukan anak Papa dan Mama?"

"Jangan menangis. Dia hanya pria jahat yang ingin menculikmu. Percaya sama kakak ya, kakak nggak akan biarkan orang itu atau siapapun membawamu dari rumah ini." Dengan wajahnya yang muram, Aldrick memeluk Liliana, berusaha menenangkan adiknya itu, meski kekhawatiran yang sama pun mengintip di sepasang bola matanya.

Belahan JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang