BAB 6

30 26 16
                                    

Perasaan itu benar! Tempatnya yang salah, Waktunya yang tidak tepat

Dira hanya mengangguk dan menunggu diluar. Beberapa saat kemudian mereka sudah berada di warung soto ayam disekitar kontrakan Dira. Tak seperti biasanya yang sering mengobrol, kali ini Dira hanya diam meenikmati sarapan. Amar tau Dira cemburu, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya ikut tak bersuara.

"Hei... Kamu kenapa kok diam aja?"

"Dira kan emang pendiam."

"Ah... Kamu tidur aja berisik, Dek."

Dira tersenyum kecut.

"Yuk pulang, Kak." Ajak Dira setelah menyelesaikan suapan terakhirnya.

"Nggak nyebat dulu, Dek?"

"Nggak."Jawabnya ketus. Duh kenapa sih aku begini, kan malu anjir. Dira sadar akan tingkahnya yang aneh, kemudian meraih tangan Amar mengajaknya pulang.

"Kak, Dira salah ya?" Dira mengirimkan pesan pada Amar.

"Salah kenapa? Ya nggak lah, Dek.

"Dira ngerasa aneh aja dengan sikap Dira yang tadi."

"Nggak apa. Kamu boleh ngelakuin apapun yang kamu mau, Dek."

"Baiklah."

"Makasih ya."

"Buat apa?"

"Nggak apa."

Dira tak membalas pesan terakhir.

Dira hanya bisa menerka-nerka apakah Amar juga memiliki perasaan yang sama. Ia tak berani bertanya tentang sebuah perasaan. Dari sikap yang ditunjukkannya, ia juga nyaman berada disamping Dira. Tapi, terkadang Dira merasa bahwa ia tak ada walaupun sedang disampingnya. Apakah cinta bisa diukur dari sebuah kenyamanan? Bukankah seharusnya ketika kita telah memilih dengan siapa hati ini dilabuhkan, maka kita tak boleh membiarkan orang lain masuk? Seberapa seringnya ia mengetuk. Kesepian bukanlah pembenaran untuk melakukan perselingkuhan. Tak bisakah kau memikirkan bagaimana perasaan orang yang telah kau selingkuhi? Mungkin jika ia tak tau, kau akan aman. Tapi rasa bersalah itu akan terus menghantuimu. Percayalah.

Kejujuran adalah mutlak. Dalam sebuah hubungan, setiap orang berhak menentukan dan memilih akan seperti apa hubungan itu kelak. Dan yang harus kau tau setiap pilihan yang kau ambil mempunyai resiko. Kau harus siap akan itu. Namun, tak semua orang mempunyai hati besar menerima bahwa sebuah perselingkuhan adalah hal yang mungkin bisa diperbaiki.

Di bulan keenam, keduanya semakin lekat. Mereka lebih sering melakukan hubungan seksual. Cinta memang tak hanya membutuhkan sebuah kata-kata, ia juga butuh sentuhan. Tapi bukan sentuhan seperti itu yang dimaksud. Itu hanyalah sebuah nafsu belaka yang didasarkan atas nama cinta. Cinta itu menjaga apa yang seharusnya dijaga.

Dira tak ingin terus-terusan menyakiti Raka. Tapi ia juga tak bisa mengatakannya, bibirnya telah dibungkam oleh kelembutan dan kehangatan. Sikap baik itu yang membuatnya sakit setiap kali ia berada dipelukan Amar. Tak hanya pada Dira, Raka juga sering berkunjung ke rumah orang tuanya. Seluruh keluarga Dira telah menerima Raka. Namun sampai saat ini pintu hati Dira belum sepenuhnya terbuka untuk Raka. Beberapa kali orang tua Dira menanyakan kapan ia siap untuk di pinang ataukah ada orang lain yang ditunggunya. Namun setiap kali pertanyaan itu muncul, bibirnya tak bergeming sedikitpun. 

**

"Sayang, besok kamu nggak balik?" Tanya Raka via telpon.

"Sepertinya nggak, Kak."

SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang